Membangun Langkat Tanpa Meninggalkan Identitas Budaya

Iklan Pemilu

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy pernah menyampaikan keinginannya agar kebudayaan Indonesia menjadi nafas dari kelangsungan hidup bangsa, menjadi darah kepribadian, menjadi mentalitas, dan nilai-nilai kebangsaan anak didik kita.

Tentunya kita mengetahui bahwa Kabupaten Langkat adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, merupakan Kabupaten yang memiliki ciri khas keMelayuan.

Kemelayuan adalah istilah yang dilekatkan untuk menggambarkan keadaan menjadi Melayu atau mewujudkan karakteristik Melayu dan digunakan untuk merujuk pada suatu yang mengikat dan membedakan orang-orang Melayu, lalu membentuk dasar persatuan serta identitas mereka.

Orang-orang yang menyebut diri mereka Melayu ditemukan di beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk di Langkat, Sumatera Utara.

Komunitas masyarakat disatukan oleh identitas bersama yang abstrak, namun terbagi oleh batas-batas politik, sejarah yang berbeda, dialek berbeda, dan kekhasan pengalaman lokal.

Sementara istilah “Melayu” banyak digunakan dan mudah dipahami di wilayah ini, namun tetap terbuka terhadap berbagai interpretasi karena karakteristiknya yang bervariasi dan berubah-ubah.

“Melayu” sebagai identitas, atau kebangsaan, dianggap sebagai salah satu konsep yang paling menantang dan membingungkan di dunia Asia Tenggara yang multi-etnis.

Langkat merupakan salah satu Kabupaten yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Beribu kotakan Kecamatan Stabat.

Penamaan Langkat berasal dari nama Kesultanan Melayu yang bernama Kesultanan Langkat.

Selain Melayu berbagai macam etnis menghuni Kabupaten Langkat seperti Jawa, Karo, Batak, Mandailing, Nias, China, Sunda, Banten, Banjar, Minang dan Bali serta etnis lainnya.

Keberagaman etnis itu pula yang mengakibatkan tumbuhnya keberagaman budaya dan tradisi di Kabupaten Langkat.

 

Sejarah Kabupaten Langkat

Langkat salah satu monarki Melayu di Sumatera Utara. Dikenal juga dengan Kerajaan Melayu yang berada di Pantai Timur.

Dalam catatan Christopher Buyers, seorang sejarawan Belanda, cikal bakal Kerjaan Langkat lahir dari kedatangan seorang Panglima Deli bernama Dewa Syahdan sekitar tahun 1670.

Dewa Syahdan mendirikan Kerajaan guna menguasai wilayah antara aliran Sungai Seruwai atau Daerah Tamiang sampai kedaerah anak Sungai Wampu.

Raja pertama Kesultanan Langkat ialah Raja Kahar. Ia berkedudukan di Kota Dalam, Kawasan antara Stabat dan Kampung Inai.

Baca Juga  Amanat Menteri Sosial Pada Hari Pahlawan Nasional 2024

Menurut penelitian tim Fakultas Sastra USU pada tahun 1994, Kesultanan Langkat diketahui Raja Kahar mendirikan Kesultanan Langkat pada 12 Rabiul Awal 1153 Hijriah atau 17 Januari 1750.

Tahun dan tangal berdirinya Kesultanan Langkat, kemudian dijadikan sebagai hari lahirnya Kabupaten Langkat.

Dikatakan nama Langkat berasal dari nama pohon dengan sebutan “Pohon Langkat”.  Menurut cerita dahulu banyak pohon Langkat tumbuh disekitar Sungai Langkat.

Namun saat ini pohon ini sudah sangat jarang ditemui, bahkan nyaris punah. Dikatakan pula pohon ini menyerupai pohon langsat, tetapi rasa buahnya pahit dan kelat.

 

Langkat Beridentitas Melayu

Dengan latar belakang Kabupaten Langkat, maka sudah sangat pantaslah Kabupaten Langkat disebut dengan tanah Melayu.

Sebagai daerah yang dikenal dengan kemelayuannya tersebut tentulah ini merupakan aset yang seharusnya mampu dikelola dengan baik oleh seluruh stakeholder di Kabupaten Langkat.

Selayaknya juga dalam implementasi pembangunan daerah, tidak boleh lepas dari falsafah Melayu yang cukup dikenal diantaranya adalah “Tak akan Hilang Melayu Dibumi.”

Falsafah inilah yang seharusnya menjadi ruh dari pembangunan Kabupaten Langkat. Nilai-nilai budaya dan identitas daerah yang terkandung dalam falsafah tersebut.

Kebudayaan yang telah menjadi faktor utama membentuk dan mewarnai segala sendi kehidupan berbagai bentuk aktivitas.  Baik itu pemerintahan, pendidikan, sosial dan kehidupan bermasyarakat, serta artefak seni-budaya daerah yang diwujudkan dengan ciri khas kemelayuannya.

Julukan sebagai kota sejarah, kota pelajar, dan pusat keagamaan, budaya haruslah  dihidupkan kembali ditengah arus modernisasi yang terus melaju.

Telah kita ketahui bersama bahwa identitas dan nilai-nilai budaya lokal merupakan ciri khas yang dimiliki suatu daerah merupakan modal pembangunan yang dimiliki suatu daerah.

Pebedaan karakter satu daerah dengan daerah lainnya tentunya mempunyai perbedaan sosio-kultur sekaligus memperkaya nilai suatu daerah bahwa segala sesuatu yang terkandung di dalamnya memiliki nilai-nilai sebagai karakter yang melekat.

Tentunya ini menjadi penting, kita harus menyadari bahwa jati diri satu daerah, sangat perlu untuk dilestraikan dan dikembangkan sesuai era kekinian.

Baca Juga  Jangan Curi Start, Ini Jadwal kampanye Pilkada 2024

Namun bukan tidak mungkin apabila dasar falsafah yang dimiliki ini tidak disertakan dalam perencanaan pembangunan di berbagai bidang akan berdampak pada tergerusnya nilai-nilai kearifan dan budaya.

Maka falsafah “Tak akan Hilang Melayu Dibumi” hanya kan menjadi kalimat tanpa makna.

 

Komitmen Melaksanakan Amanat UU Pemajuan Kebudayaan

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy pernah menyampaikan keinginannya agar kebudayaan Indonesia menjadi nafas dari kelangsungan hidup bangsa, menjadi darah kepribadian, menjadi mentalitas, dan nilai-nilai kebangsaan anak didik kita.

Hal tersebut terjawab dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Melalui undang-undang ini, maka pelindungan, pemanfaatan, pengembangan, dan pembinaan terhadap 10 objek pemajuan kebudayaan dapat berjalan lebih optimal.

Sepuluh objek pemajuan kebudayaan tersebut adalah tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus.

Tentu menggembirakan atas lahirnya kebijakan penggunaan pakaian melayu bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kebijakan tersebut berdasarkan Surat Edaran Bupati Langkat No.100.3.4.-2-807/ORG/2024, yang diterapkan sejak 7 Juni 2024.

Surat edran mewajibkan para ASN di jajaran pemerintah Kabupaten Langkat untuk memakai pakaian teluk belanga di hari Jum’at.

Seluruh ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Langkat akan memakai Pakaian Melayu sebagai seragam dinas.

Pemerintah Langkat menerapkan kebijkan itu dalam rangka pelaksanaan pemajuan kebudayaan daerah dan melestarikan warisan Budaya. Penggunaan busana Melayu yang menjadi identitas dan ciri khas Daerah Kabupaten Langkat.

Hal ini menunjukan komitmen Pemerintah Daerah, melalui Pj Bupati Langkat, untuk menunjukan bahwa Langkat adalah negri melayu.

 

Objek Pemajuan Kebudayaan

Ikon-ikon Langkat yang menjadi ciri khas daerah, misalnya Mesjid-mesjid warisan kesultanan Langkat, harus mendapat perhatian tersendiri.

Rumah-rumah kedatukan dan artefak kesultanan Langkat lainnya, harus dapat dipelihara, dirawat dan dijaga.

Selain itu harus ada upaya untuk membangkitkan lagi jajanan kuliner khas melayu seperti Halua, Kue Rasida dan jenis makan khas melayu lainnya.

Di mana upaya melestarikan dan mengembangkan budaya bukanlah hanya sebatas formalitas dan hanya berlaku atas dasar instruksional saja.

Baca Juga  Kampung Madras Bermandi Cahaya Diwali

Namun bagaimana upaya tersebut dilakukan atas kesadaran bersama dan kebanggaan atas warisan budaya.

 

Budaya Tak Hanya Dijadian Hiasan

Upaya gerakan melestarikan dan mengembangkan budaya lokal Langkat baru sebatas penampilan, pameran, pentas dan lomba atau pada event tertentu.

Pelestarian budaya juga harus menyetuh pada aktivitas pendidikan formal di Kabupaten Langkat, selain pengunaan pakaian Malayu bagi Guru dan Siswa.

Penerapan pendidikan muatan lokal seperti mata pelajaran Arab Melayu dan Sastra melayu harus juga dilaksanakan di instansi-instansi Pendidikan di Langkat.

Sehingga upaya pelestarian buadaya lokal tidak sebatas slogan dan angan-angan.

Selain itu upaya pelestarian dan pengembangan budaya juga menyentuh segala aspek kehidupan tanpa melepaskan simbol-simbol dan makna kearifan lokalnya.

Pembangunan infrastruktur, gedung, perkantoran, kawasan industri, fasilitas publik dan transportasi hendaknya dikaitkan dengan identitas budaya dan nilai-nilai kelokalan itu.

Sehingga masyarakat luar Langkat datang atau memasuki kawasan Kabupaten Langkat merasakan suasana ke-malayu-annya.

Sebagai seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Langkat, tentu meliliki harapan bahwa modernisasi yang terus melaju tanpa mampu kita hentikan. Tentu modernisasi adalah konsekwensi logis kemajuan zaman.

Tentunya  tidak perlu kita takuti ataupun dihindari. Namun harus dikelola secara arif dan bijak sehingga kemajuan zaman dapat seiring sejalan dengan nilai-nilai kebudayaan yang menjadi identitas daerah.

Yang harus kita pahami bersama ialah melestarikan dan mengembangkan budaya daerah bukanlah berarti kita harus kembali menjadi manusia masa lalu.

Ini semua sangat bergantung pada pemimpin dan pengambil kebijakan yang akan menentukan masa depan Langkat. Sehingga falsafah “Tak Akan Hilang Melayu Dibumi” menjadi kekuatan yang nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *