Bicara tentang warisan budaya tentulah, berbicara karya budaya yang diwariskan oleh generasi terduhulu sekelompok masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat itu sendiri.
Selain sebagai warisan, karya budaya kemudian dapat pula menjadi identitas atau ciri yang melekat pada kelompok masyarakat itu sendiri. Tentu akan menjadi aneh bila sekelompok masyarakat mengakui atau menggemakan warisan budaya yang bukan diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Singkat kata, melihat dan mengamati adanya geliat, upaya untuk melingdungi, mamanfaatkan dan mengembangkan karya budaya, tentulah sebuah kabar yang menggembirakan.
Namun tidaklah elok rasanya mengeksploitasi karya budaya atau warisan budaya, tanpa melakukan kajian dan pengumpulan data sejarah terkait asal muasal karya budaya tersebut.
Apalagi menisbatkan karya budaya tersebut sebagai identitas.
Sementara belum diketahui secara pasti. Apakah warisan budaya tersebut memiliki pertalian dengan masyarakat atau tidak sama sekali.
Tengkolok atau Tanjak

Tengkulok atau yang disebut juga Tanjak, serta dikenali pula dengan nama Destar, dan Lacak oleh Minangkabau. Deta bagi Melayu Kelantan-Pattani. Atau Lacak bagi masyarakat melayu Jambi. Kesemuanya itu merupakan penutup kepala tradisional yang biasanya dikenakan oleh etnis Melayu dan Indonesia.
Meski tengkolok biasanya digunakan oleh kaum laki-laki, namun berbeda dengan etnis Melayu Jambi tengkolok digunakan oleh perempuan.
Namun, beberapa beranggapan bahwa “tengkolok”, “tanjak”, dan “destar” merupakan hal yang berbeda jika ditinjau dari jenis kain maupun cara pelipatan, meskipun kegunaanya sama.
Tengkolok biasanya diartikan sebagai penutup kepala dari kain yang berkualitas baik dan memiliki banyak lipatan dan lapisan.
Destar memiliki lipatan dan lapisan yang lebih sedikit dari tengkolok. Sedangkan tanjak memiliki lipatan yang serupa dengan tengkolok, akan tetapi lebih sederhana.
Masyarakat Melayu biasanya membuat tanjak dari kain songket yang dilipat dengan sedemikian rupa atau yang terkadang disebut sebagai solek.
Tanjak kepala adalah penutup kepala adat Melayu yang berbentuk runcing ke atas. Tanjak yang disebut juga mahkota kain atau ikat ikat atau tengkorak adalah salah satu perlengkapan pakaian yang dipakai oleh bangsawan dan tokoh masyarakat di masa lalu .
Sejarah Tanjak

Menurut catatan sejarah, tengkolok atau tanjak pertama kali digunakan oleh masyarakat Sriwijaya di Sumatera. Konon katanya orang-orang Melayu Sriwijayalah yang pertama kali menggunakan tanjak dalam keseharian mereka.
Catatan tersebut senada dengan pernyataan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, Sultan Kesultanan Palembang Darussalam yang dilantik pada tanggal 4 September 2005.
Menurutnya tanjak sudah mulai dipakai sejak abad ke-8 di Kerjaan Sriwijaya.
“Menurut sebuah prespektif, konon katanya orang – orang Melayu Sriwijayalah yang pertama kali menggunakan tanjak dalam keseharian mereka,” Ujar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin saat menjadi narasumber di Sumsel Virtual Fest 2020 di Sripoku TV, Jumat, 2 Oktober 2020.
Bukti keberadaan tanjak bisa dilihat di beberapa sketsa atau lukisan perang Palembang 1819-1821, peristiwa 4 Syawal atau pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II (3 Juli 1821), perang jati (lahat) tahun 1840an perang gunung merakso (lintang) tahun 1845, basemah tahun 1860 dan beberapa sketsa lain.
Adapun pakaian yang dikenakan oleh Sultan Mahmud Badaruddin II lebih mewah jika dibandingkan dengan kaum kebanyakan.
Ia mengenakan tutup kepala (tanjak) dari kain berwarna kehitaman, bajunya ditaburi dengan permata kecil terbuat dari emas yang serasi dengan warna bajunya, memakai sarung sutera warna merah tua yang separuh menutupi celana panjang (balabas) berwarna biru tua (Nato Dirajo, 1984:9).
Kesultanan Palembang Darussalam berdiri 1455, Ario Dillah atau Ario Damar sebagai raja pertama yang memerintah dai 1455 sampai 1486.
Namun pada 1823, dua tahun setelah Belanda berhasil menaklukan kesultanan Palembang Darussalam. Belanda melarang pengunaan tanjak di Palembang.
Namun menurut pendapat beberapa ahli, tanjak sudah ada jauh seblum zaman Sriwijaya, terutama di Pulau Melaka.
Cerita di Malaysia
Tengkolok atau tanjak digambarkan dalam salah satu cerita rakyat di Malaysia tentang Muzaffar Shah (1528–1549), putra Sultan Malaka terakhir dikarenakan kala itu Kesultanan Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511, diundang untuk memerintah wilayah Perak.
Muzaffar Shah memulai perjalanannya melalui laut, dengan membawa serta tanda kebesaran kesultanan Malaka.
Tidak jauh dari pantai Perak, kapal tersebut mulai tenggelam. Ia mencoba meringankannya dengan membuang semua muatan yang ada.
Namun hingga Muzaffar Shah melemparkan mahkota ke laut, kapal tidak bergeming.
Sang sultan menganggap ini sebagai tanda dari atas dan bersumpah bahwa dia tidak akan pernah memakai mahkota itu lagi.
Sejak saat itu, menurut legenda, para sultan mulai mengenakan bukan mahkota kerajaan, melainkan tengkolok.
Tengkolok pada masa lampau biasanya digunakan oleh pemimpin maupun tokoh masyarakat.
Pemimpin Tertinggi Malaysia, yakni Yang di-Pertuan Agong, menggunakan tengkolok sebagai bagian dari tata busana. Tengkolok yang diberi nama sebagai “Tengkolok Diraja” itu terbuat dari sutra hitam dengan benang emas.
Di bagian depan terdapat bulan sabit dan bintang berujung sebelas yang terbuat dari emas putih bertatahkan berlian, bergambar Lambang Negara.
WBTB Kota Palembang
Pada tahun 2019 Tanjak Palembang dicatat oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Kota Palembang, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 362/M/2019 dengan domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional.
Selanjutnya dalam rangka, pemanfaatan dan melindungi, melestarikan Tanjak, Pemerintah Sumatera Selatan menghimbau kepada masyarakatnya untuk memakai tanjak. Serta Peraturan Daerah yaitu mewajibkan setiap bangunan di Sumatera Selatan wajib memakai ornamen atau atribut lambang/simbol berupa Tanjak, Songket atau ornamen khas budaya Sumatera Selatan lainnya, baik di gapura atau bagian bangunan tersendiri.
WBTB Siak
Selain sebagi WBTB Kota Palembang, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menetapkan tanjak sebagai WBTB Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Berdasarkan Surat Keputusan nomor : 414/P/2022 dengan nama karya Tanjak Siak dengan domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan.
Apa itu WBTB dan Bagaimana Menetapkannya?
Warisan Budaya Tak Benda adalah seluruh hasil perbuatan dan pemikiran yang terwujud dalam identitas, ideologi, mitologi, ungkapan-ungkapan konkrit dalam bentuk suara, gerak, maupun gagasan yang termuat dalam benda, sistem perilaku, sistem kepercayaan, dan adat istiadat di Indonesia.
Selain itu, Warisan budaya tak benda tidak hanya mewakili tradisi warisan masa lalu, tetapi juga praktik kebudayaan kontemporer di mana kelompok budaya yang beragam ambil bagian;
Warisan budaya tak benda hanya dapat diwariskan bila diakui oleh masyarakat, kelompok atau individu yang menciptakan, memelihara dan mentransmisikannya. Tanpa pengakuan mereka, tidak ada orang lain dapat memutuskan bahwa ekspresi atau praktek tertentu adalah warisan milik mereka.
Kemudian dalam penetapan suatu karya budaya menjadi WBTB satu daerah harus memenuhi syarat yang diantaranya mencakup Lokasi dan Persebaran Karya Budaya. Lalu identifikasi dan definisi mengenai karya budaya dan upaya pelestarian karya budaya.
Selain itu memiliki kajian akademik terkait karya budaya dan referensi kesejarahan karya budaya yang diajukan untuk ditetapkan sebabagi Warisan Budaya Tak Benda.
Bagaimana Dengan Langkat?

Sejuah ini belum ditemukan referensi atau sumber primer dan data lainnya terkait sejarah tanjak di Langkat, Sumatera Utara.
Meski ada dokumentasi Sultan Langkat menggunakan Tengkolok. Namun harus pula diketahui bahwa ‘Tengkolok dapat dikatakan Tanjak, namun tanjak tidak dapat dikatakan sebagai tengkulok.’
Tanjak bisa dikatakan sebagai identitas etnis Melayu. Namun hal itu tidak dapat dijadikan varibel tunggal untuk mengklaim bahwa tanjak adalah identitas masyarakat Melayu di Langkat. Selain belum adanya sumber catatan primer maupun skunder terkait tanjak sebagai identitas budaya masyarakat melayu di Langkat.
Jangan sampai kita hanya menjadi pengikut tanpa mengetahu secara pasti apa yang kita ikuti.