Bagi masyarakat Melayu, halua bukan sekadar makanan ringan menyambut tamu. Namun menjadi salah satu simbol tingginya pengetahuan masyarakat Melayu dalam mengolah makanan.
Selain itu, masyarakat Melayu juga menyajikannya di berbagai gelaran adat, seperti pada acara pernikahan dan hajatan lainnya.
Bahkan, disaat merayakan hari Raya Idul Fitri di rumah-rumah masyarakat Melayu selalu menyiapkan halua untuk dihidangkan ketika kedatangan tamu.
Begitulah eratnya halua bagi kehidupan masyarakat Melayu. Dapat pula dikatakan hampir disetiap daerah di Indonesia yang bercorak Melayu memiliki makanan jenis halua, sama halnya dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatra Utara.
Disetiap daerah halua memiliki ciri khasnya tersendiri. Karena pada dasarnya, Indonesia itu kaya akan warisan budaya.
Selain memiliki berbagai ciri khas dalam pengolahannnya. Ada banyak sekali versi terkait asal-usul keberadaan Halua di Kabupaten Langkat, salah satunya adalah teori Gujarat.
Dalam teori Gujarat, para pedagang dari Gujarat, selain membawa barang dagangannya. Mereka juga menyebarkan agama Islam berikut dengan kebudayaannya di Nusantara.
Selama melakukan perdagangan di Nusantara, selain saling bertukar barang. Mereka juga saling bertukar kebudayaan. Tak khayal mereka bahkan ada yang menetap dan menikah dengan penduduk setempat.
Pergaulan sosial ini mengakibatkan terjadinya akulturasi budaya yang kemudian berkembang sesuai dengan ekosistem budaya masyarakat setempat.
Akukturasi budaya itu, termasuk kesenian, pakaian, teknologi, pengetahuan, ritual, hingga makanan seperti Halua.
Penamaan Halua sendiri merupakan serapan dari Bahasa Arab, yakni Halwa yang artinya manis. Nama ini kemudian dinisbatkan pada makanan yang rasanya manis.
Di Timur Tengah, Jazirah Arab, Halwa merupakan makanan berjenis kue dengan tekstur lembut dan kering dan kacang-kacangan sebagai pelengkap.
Jenis makanan in mengalami persebaran diberbagai penjuru dunia, tidak terlepas di Nusantara.
Tidak heran jika varian Halua dapat ditemui di seluruh penjuru dunia dengan bentuk yang berbeda-beda.
Halua Bagi Masyarakat Melayu Langkat
Bagi masyarakat Melayu Langkat, Halua merupakan aneka ragam manisan, yakni makanan yang terbuat dari buah dan sayur yang diawetkan menggunakan gula.
Halua bagi masyarakat Melayu Langkat, merupakan makanan ringan atau kudapan yang disajikan sebagai makanan menyambut tamu sehari-hari maupun pada hari-hari istimewa.
Tidak hanya itu, masyarakat Melayu juga menjadikan Halua sajian di berbagai gelaran adat, seperti acara pernikahan dan hajatan lainnya.
Pada prosesi pernikahan adat Melayu Langkat. Halua menjadi makanan wajib yang disajikan kepada kedua mempelai saat makan hadap-hadapan.
Makan hadap – hadapan menjadi bagian yang menarik pada upacara pernikahan masyarakat Melayu.
Pasangan pengantin akan saling beradu ketangkasan merebut makanan sebagai simbol meraih rezeki. Kemudian setelahnya kedua pengantin akan saling melayani, dalam hal ini saling menyuapi.
Di Sumatera Utara, khususnya Langkat Halua juga dikenal sebagai salah satu makanan khas yang kerap dijadikan cenderamata atau oleh-oleh.
Di sepanjang jalan lintas Sumatera, khususnya di daerah Stabat, akan banyak ditemui kios-kios penjual makanan khas Langkat, termasuk Halua.
Namun saat ini hanya tinggal beberapa yang masih bertahan menjual Halua, seperti Toko yang berada di Jalan K.H. Zainul Arifin, Stabat.
Halua Langkat Masih Diminati
Halua Langkat masih diminati hingga saat ini. Faktor yang membuat produk budaya ini masih tetap bertahan yakni inovasi pegiat makanan halua. Mereka terus berkembang menyesuaikan zaman. Mulai dari teknologi produksi, pengemasan, pemasaran, hingga ragam varian.
Setidaknya terdapat dua puluhan varian Halua. Dimana pembuat Halua mengunakan bahan baku dari sayur-sayuran dan buah-buahan seperti pepaya, mangga, pala, terong, wortel, kedondong, pare, buah pala, kolang kaling, nanas, salak, cabai, dan lain-lain.
Aneka ragam buah dan sayuran yang dijadikan halua, menjadi kesan tersendiri. Bahkan sebagian masyarakat menganggapnya aneh dan tak biasa.
Misalnya terhadap cabai yang dikenal dengan rasa pedas dibuat menjadi manis. Begitupun dengan buah pare atau pria rasa pahitnya diubah menjadi manis.
Halua di Langkat terbagi menjadi dua jenis, yakni basah dan kering.
Proses pembuatan Halua Kering, bahan baku terlebih dahulu dijemur hingga kering, lalu ditaburi gula putih. Saat ini pengeringan dapat dilakukan dengan mengunakan mesin dehidrator sehingga lebih praktis dan higienis.
Sedangkan, untuk Halua basah dengan merebus bahan dasar Halua dengan suhu berkisar 50 hingga 700C. Kemudian direndam dalam campuran air gula dan bahan lainnya dengan durasi tertentu.
Pengetahuan Tradisional Masyarakat Melayu
Halua merupakan produk budaya masyarakat Melayu. Pada 10 Objek Pemajuan Kebudayaan Halua dapat dikatagorikan pada pengetahuan tradisional.
Sampai saat ini Halua masih memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Kendati ada beragam jenis manisan yang diproduksi menggunakan teknologi modern. Tetapi Halua Langkat dengan cita rasa yang khas membuatnya tetap bertahan dan tak lekang oleh zaman.
Berangkat dari itu, selayaknya menjadikan Halua Langkat sebagai salah satu Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) Kabupaten Langkat yang ditopang oleh Pemerintah Daerah. Hal itu dalam rangka melestarikan dan meningkatkan nilai ekonominya.
Halua menjadi bukti bahwa masyarakat Melayu Langkat memiliki kemampuan dan kreatifitas tinggi dalam mengolah makanan.
Dua kombinasi ini menghasilkan kekayaan intelektual berupa pengetahuan tentang pembuatan makanan tradisional yang masih dapat dinikmati hingga saat ini.
Tentu sudah menjadi kelayakan untuk menjadikan Halua Langkat diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.