Kepala Desa Berzina atau Selingkuh, Bisakah Diberhentikan?

ilustrasi

suarain.com – Hebohnya pemberitaan terkait dugaan perselingkuhan salah satu kepala desa di Kabupaten Langkat.

Dugaan perselingkungan kepala desa itu bermula dari beredar luasnya video pria yang diduga Kepala Desa Serapuh Asli berinisial NH bersama AR perempuan bersuami.

Tampak pada video itu, AR menyulangi NH dengan kue ulang tahun di sebuah kamar yang belum diketahui persis lokasinya.

Video tersebut juga beredar luas di media sosial masyarakat Langkat.

Bahkan, menjadi perbincangan hangat masyarakat Kecamatan Tanjungpura, Langkat.

Hal ini pun menyebabkan kemarahan masyarakat Desa Serapuh Asli.

Masyarakat Desa Serapuh Asli dengan keras menyuarakan pencopotan NH sebagai Kepala Desa Serapuh Asli atas dugaan selingkuh dengan perempuan yang telah bersuami itu.

Berbagai upaya pun dilakukan warga desa guna mendesak Pemerintah Kabupaten Langkat untuk segera memberhentikan NH dari jabatannya.

Selain melalui jalur administrasi, warga desa juga melakukan aksi demontrasi baik di lingkungan kantor desa maupun Bupati dan DPRD Langkat.

Namun sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Langkat belum mengambil putusan terkait permasalahan tersebut.

Bisakah Bupati Memberhentikan Kepala Desa Karena Berzina

Sebelum kita masuk pada pemberhentian kepala desa karena berzina, kita bahas dulu terkait mekanisme pemberhentian kepala desa.

Pada dasarnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya dan melaksanakan tugas dari pemerintah dan pemerintah daerah.

Selanjutnya berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa diatur dalam Permendagri 82/2015 sebagaimana diperbaharui dengan Permendagri 66/2017.

  1. Pemberhentian kepala desa dapat terjadi dengan berbagai alasan, yaitu:
  2. meninggal dunia;
  3. permintaan sendiri; atau
  4. diberhentikan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepala desa dapat diberhentikan, karena:

  1. berakhir masa jabatannya;
  2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan karena menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya;
  3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa;
  4. melanggar larangan sebagai kepala desa;
  5. adanya perubahan status desa menjadi kelurahan, penggabungan 2 desa atau lebih menjadi 1 desa baru, atau penghapusan desa;
  6. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa; dan/atau
  7. dinyatakan sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selain itu, kepala desa juga dapat diberhentikan sementara oleh bupati/walikota, karena:

  1. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa;
  2. melanggar larangan sebagai kepala desa;
  3. dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan register perkara di pengadilan; dan
  4. ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, teroris, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Mekanisme Pemberhentian

Selanjutnya, Badan Permusyawaratan Desa melaporkan kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain, jika kepala desa berhenti.

Laporan tersebut memuat materi kasus yang dialami oleh kepala desa yang bersangkutan dan kemudian bupati/walikota melakukan kajian untuk proses selanjutnya atas laporan tersebut.

Lebih lanjut, pengesahan pemberhentian kepala desa ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota yang disampaikan kepada kepala desa yang bersangkutan dan para pejabat terkait pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Kewajiban dan Larangan bagi Kepala Desa

Adapun dalam Pasal 26 ayat (4) huruf c, d, dan n UU 3/2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Pasal 26 tersebut memuat melaksanakan tugas dan kewajiban kepala desa dalam menjalankan jabatannya :

  1. memelihara ketentraman masyarakat desa;
  2. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
  3. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat desa.

Selain itu, dalam Pasal 29 huruf c dan e UU Desa, kepala desa dilarang untuk:

  1. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
  2. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa.

Untuk selengkapnya mengenai wewenang, hak dan kewajiban kepala desa dapat dilihat pada pasal 26 UU 3/2024.

Sementara untuk larangan bagi kepala desa dapat kita temukan dalam Pasal 29 UU Desa.

Tindak Pidana Perzinaan

Dalam hal kepala desa berzina, perbuatan zina diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP lama dan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026, yang selengkapnya berbunyi:

Pasal 284 ayat (1) KUHP

Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku baginya,

1. b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku baginya.

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

2. b. seorang wanita yang telah kawin serta turut melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru

Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta.

Dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), R. Soesilo menyajikan tafsir serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal menggunakan istilah ‘zina’ untuk menerangkan gendak (hal. 208 – 209).

R. Soesilo menjelaskan bahwa zina merupakan persetubuhan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.

Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka dan tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak (hal. 209).

Selain itu, delik perzinaan adalah delik aduan absolut, sehingga tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari suami/istri yang dirugikan.

R. Soesilo juga menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah.

Misalnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.

Ketentuan mengenai delik absolut tersebut diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP dan Pasal 411 ayat (2) UU 1/2023.

Penjelasan selengkapnya mengenai pasal perzinaan dan unsur-unsurnya dapat ditemukan pada pasal 284 KUHP tentang Perzinaan.

Maka dari itu, kepala desa juga dapat memenuhi alasan pemberhentian, yaitu pelanggaran larangan mengenai menyalahgunakan wewenangnya dan/atau melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat desa, karena kerap kali berbuat zina dan/atau memaksa berhubungan badan dengan para istri dari warganya.

Alasan pemberhentian lain, yaitu kepala desa tidak melaksanakan kewajibannya dengan berselingkuh dan bersetubuh dengan perempuan bersuami, sehingga dapat dipandang sebagai perbuatan yang tidak memelihara ketentraman dan ketertiban serta membina nilai sosial budaya masyarakat.

Perbuatan tersebut juga bertentangan dengan kewajibannya untuk menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *