Jam dinding tua di ruang tamu berbunyi dua kali, nyaring dan menghentak. Bunyi itu memecah kesunyian malam dan mengoyak lamunanku yang sejak tadi terombang-ambing antara kenyataan dan khayal.
Jam itu bukan sekadar penanda waktu, tetapi warisan dari ayahku, seorang guru tua yang mengabdikan hidupnya pada dunia pendidikan.
Ia menerima jam itu dari murid-muridnya saat perpisahan, sebagai simbol dari waktu yang telah ia habiskan untuk menanam ilmu dan kasih sayang. Kini, jam itu berdetak di rumahku, menjadi saksi sunyi dari pergulatan batinku malam ini.
Malam telah larut. Di luar, sesekali hanya terdengar suara motor atau mobil yang melintas. Kabut asap dari batang-batang rokok yang kuhisap terus-menerus masih menggantung di udara, menempel pada tirai, tembok, dan pikiranku.
Aku duduk di depan laptop, mencoba menulis. Bukan untuk pekerjaan, bukan untuk siapa pun, melainkan untuk diriku sendiri.
Ada sesuatu yang ingin kutumpahkan, sesuatu yang selama ini berdiam di ruang batin yang dalam dan gelap. Keresahan.
Keraguan. Sebuah pertanyaan sederhana tapi berat: “Hidupku ini, ke mana arahnya?”
Namun justru di saat aku mencoba menyentuh
kejujuran terdalam itu, tubuhku mendadak lemas. Pandanganku gelap, kesadaran seperti tercerabut. Aku tidak bisa bergerak. Napas tercekat.
Tubuh mengurung diriku sendiri, tiba-tiba tak bisa diandalkan. Jantungku berdegub keras seperti hendak meloncat keluar. Aku tidak tahu ini mimpi, serangan panik, atau sesuatu yang lain.
Kehadiran
Tiba-tiba, dari balik kegelapan itu, muncul sosok. Suaranya datar namun kuat. “Berhenti… kau harus berhenti.”
Ia berjalan ke arahku, matanya menatap lurus ke dalam jiwaku. Aku tidak mengenalnya, tetapi ia berbicara seolah telah mengenalku seumur hidup.
“Ayo…kau harus pindah. Tempatmu bukan di sini lagi. Aku akan membawamu ke tempat yang lain,” katanya.
Aku menggeleng, memberontak. “Tidak! Ini
rumahku. Aku tidak mau pindah. Siapa kau berani-beraninya menyuruhku?”
“Hijrah,” jawabnya. Satu kata. Sederhana. Tapi menggema keras di ruang kepala dan hati. Hijrah. Kata itu bukan asing.
Aku pernah mendengarnya berkali-kali, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Teman-temanku banyak yang melakukannya.
Mereka berpakaian lebih tertutup, berperilaku lebih santun, membanjiri media sosial dengan kutipan-kutipan bijak, doa, dan ajakan kebaikan.
“Semua kawanmu sudah melakukannya. Mereka berubah. Mereka lebih baik. Wajah mereka bercahaya. Mereka dekat dengan Tuhan. Mengapa kau masih di sini?” kata sosok itu.
Ruang Sadar
Aku diam sejenak. Lalu berkata dengan suara tenang tapi tegas, “Omong kosong.”
Sosok itu menatapku. Sorot matanya tidak marah, tapi seperti ingin memahamiku.
Aku lanjutkan, “Bukan aku tidak ingin berubah. Tapi aku muak dengan semua kemasan palsu yang menyelimuti perubahan itu. Hijrah kini seperti lomba. Kompetisi dalam bersih-bersih tampilan. Sebuah pasar besar di mana kebaikan dijual sebagai citra, bukan sebagai kesadaran. Kau ingin aku ikut dalam parade itu?
Aku tahu tidak semua yang berhijrah demikian. Aku tidak sedang menghakimi siapa pun. Tapi aku juga tak ingin membohongi diri.
Hijrah bukan tentang lengan baju yang panjang atau jenggot yang lebat. Bukan tentang konten dakwah di story atau kata-kata bijak di caption.
Hijrah adalah pertempuran sunyi. Ia terjadi di ruang yang tak bisa difoto, tak bisa dilike, tak bisa dinilai siapa pun, kecuali Tuhan dan nurani.
Sosok itu tersenyum samar. Lalu berkata, “Aku bukan orang lain. Aku adalah engkau. Suara yang kau sembunyikan. Ketakutan yang kau hindari. Kesadaran yang selama ini kau tunda.”
Aku tercekat.
Malam ini, dalam gelap dan sunyi, aku berbicara dengan diriku sendiri. Sosok itu adalah bagian dari diriku yang lebih sadar, lebih jujur, lebih berani.
Mungkin memang sudah saatnya aku hijrah. Tapi tidak karena tekanan. Tidak karena ingin tampil baik di mata orang. Bukan karena ingin ikut tren. Tapi karena aku lelah dengan kebisingan batin ini.
Hijrah yang kupahami kini adalah berpindah dari kebohongan menuju kejujuran. Dari gelap menuju terang.
Dari kemelekatan palsu menuju kebebasan hakiki. Mungkin belum terlihat di luar. Tapi dalam diriku, sebuah langkah kecil telah dimulai.
Aku belum sampai. Tapi aku berjalan.
Refleksi Sosial Budaya

Fenomena hijrah belakangan ini tak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya yang berubah cepat.
Dulu, religiusitas ditunjukkan secara sederhana: dengan ikut pengajian kampung, menjaga hubungan baik dengan tetangga, dan menjadi pribadi yang rendah hati.
Kini, di era digital, religiusitas menjadi bagian dari identitas visual yang bisa ditampilkan, dikomentari, dan dipromosikan.
Fenomena ini menunjukkan pergeseran: agama bukan lagi sekadar keyakinan personal, tapi juga performa sosial.
Simbol-simbol agama, seperti gaya berpakaian, gaya bicara, hingga kutipan hadis di media sosial, menjadi ukuran “islami”.
Ada dinamika sosial budaya yang unik di sini: tekanan sosial muncul bukan dari nilai-nilai tradisional masyarakat, tapi dari “budaya religius urban” yang dikemas modern.
Hijrah menjadi bagian dari budaya populer, bahkan bisa dikomersialkan. Dari sini lahir istilah seleb hijrah, konten dakwah viral, hingga trend busana syar’i branded.
Maka wajar jika dalam benakku muncul pertanyaan kritis: apakah ini semua masih tentang Tuhan, atau tentang citra?
Di sisi lain, budaya lokal yang dahulu melahirkan tradisi spiritual yang arif dan membumi, seperti wirid malam di surau, nasihat adat, ziarah kubur leluhur, mulai ditinggalkan, bahkan dicurigai sebagai “bid’ah”.
Ini menjadi pertarungan antara warisan lokal yang kaya dengan religiusitas modern yang seragam dan cepat viral.
Itulah realitas sosial budaya hijrah hari ini: kompleks, dinamis, dan tidak selalu seindah narasi yang dibangun di permukaan.
Catatan Akhir

Hijrah bukan panggung. Ia adalah jalan sunyi yang panjang antara cahaya dengan maha cahaya.
Ia bukan tuntutan budaya pop religius, bukan konten yang bisa disponsori, dan bukan kostum untuk mendapat validasi.
Hijrah sejati tidak membutuhkan sorak sorai. Ia hanya butuh satu hal: niat yang ikhlas menerima, keberanian bertarung menghadapi diri sendiri dan berjuang untuk tetap waras di dunia yang bising.
Hijrah adalah penyadaran tentang kehambaan bahwa diciptakan untuk dihancurkan.
Penulis : Joe Abdillah