Hari ini umat Muslim khususnya di Indonesia sedang bergembira ria menyambut Idul Fitri.
Setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa pada siang hari sampai matahari terbenam.
Kemudian menghidupkan malam-malamnya dengan Tarawih, tadarus Alquran dan amalan-amalan Sunnah lainnya.
Uniknya, Muslim di Nusantara memiliki tradisi mudik. Pulang ke kampung halaman mereka masing-masing.
Momentum lebaran bagi mereka adalah ajang pulang kampung melepaskan kerinduan pada orang-orang yang mereka cintai di kampung.
Entah itu kedua orang tua, ayah, ibu atau terkasih, moment lebaran dan pulang kampung merupakan kebahagian puncak bagi mereka.
Di moment pulang kampung, mereka akan berbagi kebahagiaan dengan keluarga-keluarga di kampung. Ekspresi kebahagiaan masing-masing tentunya berbeda.
Ada yang menggunakan momen pulang kampung sekedar menunjukkan pencapaian-pencapaian mereka ketika di perantauan.
Entah itu pekerjaan, status dan pendidikan, serta pencapaian-pencapaian yang lain.
Namun tradisi itu dapat juga memberikan dampak yang kurang menyenangkan, bagi mereka yang kurang beruntung di tanah perantauan.
Bisa jadi mereka akan minder, ketika bertemu dengan keluarga sanak family. Pertanyaan-pertanyaan privasi yang memberatkan untuk dijawab akan menjadi beban tersendiri bagi mereka.
Seperti, kapan nikah, dah tamat kuliahnya…sudah bekerjakah? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Hakikatnya. Dalam tasawuf Islam, Semua manusia pasti akan pulang kampung.
Kampung yang lebih agung dan abadi. Kelak manusia akan berada disana selamanya.
Ada yang bahagia di kampung halamannya disebabkan perbuatan baiknya selama hidup di dunia.
Ada yang sengsara di kampung halamannya akibat perbuatan buruk yang dikerjakannya selama hidup di dunia.
Itulah akhirat. Allah SWT. menyebutnya الدر لاخراة. Negeri akhirat. Lebih utama dari kehidupan dunia. Dalam QS. Al an’am: 32 Allah menyebutnya:
…….. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam ayat 32).
Dunia, bagi mereka yang beriman, merupakan permainan dan Senda gurau. لعب ولهو sehingga mereka sangat berhati-hati (wara’) dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Sehingga mereka serius menjadikan dunia ini sebagai ladang untuk menabung bekal di kampung akhirat.
Suatu ketika Raul berbicara kepada Ibnu Umar:
كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Hiduplah kalian di dunia seakan-akan seperti orang asing, atau seperti seorang pengembara.”
Kapan manusia akan mudik di kampung halamannya? Ketika Maut sampai di kerongkongan!.
Saat itu manusia akan segera pergi meninggalkan dunia menuju kampung halamannya.
Mereka yang beriman dan beramal saleh akan bahagia meninggalkan dunia untuk mudik ke kampung akhirat.
Memang, layaknya manusia begitu, merayakan kematian, yang manis dan membahagiakan. Seperti syair Rumi:
“Mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil kehidupan, kematian menjadi sangat manis.
Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri.” (Rumi 1207-1273 M).
Lantas bagaimana mereka yang lupa akan kampung halamannya, tak pernah mempersiapkan bekal untuk akhirat.
Ia akan datang di kampung halaman, lalu berhadapan dengan Tuhan sebagai terdakwa di kursi pesakitan. Sungguh mengerikan!.
Ayok.. kita persiapkan bekal untuk sebuah mudik yang panjang abadi nan agung.