Maret bedarah di Sumatera Timur, tragedi di pulau Sumatera yang sunyi dibicarakan. Bahkan hampir dilupakan negera. Tentu akan berbeda jika ini tragedi berdarah ini terjadi di pulau Jawa.
Bahkan mungkin akan menjadi hari berkabung Nasional, atau dibuatkan hari tertentu untuk mengenangnya.
Tragedi 3 Maret 1946, atau yang dikenal pula dengan Revolusi Sumatera Timur. Pada peristiwa ini banyak kesultanan dikudeta kekuasaannya dan anggota keluarga serta para bangsawan Melayu dihabisi oleh kelompok pergerakan bersenjata (nasionalis Indonesia).
Menurut kaum revolusioner gerakan itu sebagai salah satu cara bagi Sumatera Timur untuk dibebaskan dari kekuasaan kolonial dan bergabung dengan Revolusi Nasional Indonesia yang lebih besar .
Lambatnya penyerahan dan pemindahan kekuasaan dari para raja kerajaan di Sumatera Timur disebut-sebut sebagai salah satu pemicu terjadinya kudeta kekuasaan para raja.
Ditambah pandangan bahwa raja-raja atau bangsawan Sumatera Timur dianggap sebagai sekutu Belanda.
Maka merebut Sumatera Timur, dan menciptakan kekerasan diyakini sebagai salah satu jalan menuju revolusio nasional.
Selain itu diyakini pula, pemindahan kekuasaan dalam waktu sesingkat singkatnya itu, penting untuk dilakukan sebagai perwujudan negara Kesatuan Republik Indonesia.
3 Maret 1946
Mendengar bahwa Belanda akan kembali datang, barisan pemuda bersenjata berkumpul untuk melakukan kudeta kekuasaan Kesultanan.
Pertumpahan darah pecah, hari itu 3 Maret 1946, Kekerasan tidak terelakkan, tujuh pangeran, sembilan puluh bangsawan di Langkat serta pejabat yang tak terhitung jumlahnya dari negara-negara pribumi terbunuh.
Pemerkosaan terhadap putri -putri Sultan. Penyair Pujanga Baru, Residen Langkat, anak menantu Sultan Langkat, Sultan Mahmud, Tengku Amir Hamzah dipancung, pada 9 Maret 1946, diperkebunan Kwala Begumit. Saat ini salah satu Desa di Kecamatan Binjai, Langkat.
Para militan di bawah pimpinan PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Komunis Indonesia , dan Partai Nasional Indonesia menyerang hampir semua bangsawan Melayu.
Tujuan utama
Ada 3 tujuan utama dilakukannya revolusi yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat, yakni :
- Menangkap bangsawan Melayu dan pendukung utama mereka sehingga dapat menggagalkan rencana mereka untuk kembali ke Belanda;
- Menguasai kekayaan kesultanan Melayu untuk mendukung pengeluaran perjuangan nasional ; dan
- Rekayasa perubahan politik dan sosial sesuai dengan intelektual yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Faktor
Ketegangan yang terjadi antar kelas, ideologi, dan etnis yang terakumulasi beberapa dekade sejak masa penjajahan Belanda.
Banyaknya masyarakat setempat, terutama mereka yang termasuk kelas bawah dan menengah, yang secara konsisten ditekan di bawah sistem hierarki, menjadi sangat tidak puas dengan hierarki kerajaan dan Belanda.
Politik
Dimasa pemerintahan Hindia Belanda, yang juga memegang mayoritas kekuasaan administratif di wilayah. Sementara pemerintah dibentuk atas empat kesultanan utama di wilayah, yakni Langkat , Serdang , Deli , dan Asahan serta kerajaan sebelum dan sesudah kedatangan Belanda, hanya menjadi simbol kekuasaan pribumi.
Di bawah kekuasaan Belanda, kerajaan diserap ke dalam struktur politik terpusat dan elit pribumi ini dimasukkan dalam administrasi (yang mereka bagi dengan Belanda) di wilayah tersebut.
Kondisi ini menjadikan bangsawan Belanda maupun Melayu leluasa mengunakan kekuatan politik mereka untuk melancarkan kebijakan yang menekan hak-hak rakyat jelata.
Perlakukan Belanda dan aristokrasi Melayu itu kemudian memunculkan pertentangan di orang-orang biasa.
Di awal bulan Maret 1946, tersebar dengan luar kabar bahwa telah dibentuknya Comite van Ontvangst (komite penyambutan) untuk menyambut kedatangan Belanda.
Kabar itulah yang membuat barisan pemuda mengepung istana di Tanjung Balai.
Selain itu tersebar pula, rumor bahwa sultan-sultan Sumatera Timur mengusulkan untuk membentuk wilayah kekuasaan di Malaya Inggris.
Mayor Ferguson, intelijen Inggris, berkaitan erat dengan intrik politik di Sumatera Timur. Sultan Deli disebut-sebut pula telah mempersenjatai perlindungan Inggris dan membiarkan negaranya menjadi benteng Intelijen Inggris.
Usulan wilayah kekuasaan itu dibuat untuk memancing permusuhan dari para pemuda. Setelah disebarkan, otoritas Inggris mengabaikan usulan itu. Kemudian, para sultan kembali bekerja sama dengan Belanda.
Mayor Ferguson dan penjabat gubernur Sumatera Timur, Dr Amir, mengunjungi tempat-tempat di Sumatera Timur dan kembali ke Medan pada tanggal 2 Maret 1946.
Bagi kaum muda, kerajaan melambangkan ketidakadilan kolonial. Baik di bawah penguasa Belanda maupun Inggris, kerajaan akan tetap elitis dan menjadi pelaksana penindasan asing. Dan akhirnya pecahlah yang peristiwa yang disebut Revolusi Sosial yang berlangsung sejak 3 sampai Maret 1946.
Peristiwa Tanjung Balai
Di Tanjung Balai, Asahan, 3 Maret 1946, sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjungbalai.
Akan tetapi, kerumunan itu berubah haluan mengepung Istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI. Akan tetapi, karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu Istana Sultan.
Besoknya, semua pria bangsawan Melayu di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang tewas, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku.
Peristiwa Simalungun, Karo, Langkat dan Deli
Di Tanjung Balai dan di Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh. Sedangkan di Simalungun, Barisan Harimau Liar (BHL) membunuh penguasa dan anggota keluarga penguasa Kerajaan Raya, Kerajaan Panei, Partuanon Dolok Panribuan, Kerajaan Dolok Silau, Kerajaan Purba, dan Kerajaan Silimakuta.
Gerakan ini juga memakan korban yang terjadi di Tanah Karo. Di daerah kesultanan besar, Deli, Serdang, dan Langkat, Persatuan Perjuangan mendapat perlawanan.
Serdang yang memang dalam sejarahnya anti-Belanda tidak terlalu dibenci masyarakat dan juga terlindung karena ada markas pasukan TRI di Perbaungan.
Sedangkan, Istana Sultan Deli terlindung akibat adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan, sementara Istana Langkat juga terlalu kuat untuk diserbu.
Pergolakan sosial berlanjut sampai 8 Maret 1946. Sultan Bilah dan Sultan Langkat ditangkap lalu dibunuh.
Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur oleh para aktivis PKI.
Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh laskar-laskar yang tergabung dalam Volksfront.
Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah.