Bulan September bukanlah sekedar bulan biasa bagi perjalanan Indonesia baik sebagai bangsa maupun negara. Di bulan September memuat cerita kelam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
HAM merupakan hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak mereka dilahirkan hingga akhir hayatnya. HAM juga merupakan sunatullah dan anugerah Tuhan yang wajib dijaga dijunjung tinggi. Kemudian negara hadir sebagai lembaga tertinggi yang wajib melindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang.
Setiap manusia memiliki hak-haknya sendiri, seperti hak kebebasan berpendapat, hak memilih agamanya sendiri. Hak-hak dasar itupun sejatinya telah diatur dalam Undang-undang dasar (UUD 1945) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun pada realitanya ada saja pelanggran HAM yang terjadi di negeri ini, baik pelanggaran yang ringan maupun berat. Tercatat di Indonesia telah terjadi beberapa kali pelanggaran HAM, mulai dari Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, dan masih banyak yang lainnya.
September bagi Indonesia menjadi catatan kelam pelanggaran HAM dikenal dengan “September Hitam” atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.
Adapun pelanggaran HAM yang terjadi dari kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, sampai kasus pembunuhan Salim Kancil yang terjadi pada tahun 2015 lalu.
Berikut catatan runtutan pelanggaran HAM berat yang terjadi di bulan September.
Diudara Munir Diracun
Munir Said Thalib yang kerap disapa Munir, seorang aktivis yang konsern pada isu HAM. Ia sosok yang dikenal gigih berjuang memperjuangkan orang-orang yang haknya dirampas atau ditindas.
Munir memulai Gerakan keaktivisannya di LBH Surabaya. Setelah dua tahun bersama LBH Surabaya kemudian Ia diangkat menjadi Wakil Ketua bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Dalam catatanya Munir pernah mengadvokasi dan menangani kasus – kasus pelanggaran HAM di Indonesia dimasa Orde Baru. Munir juga sempat menjadi penasihat hukum tiga orang petani yang dibunuh pada tragedi Waduk Nipah tahun 1993.
Ketiga petani oleh 4 personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) terkait sengketa tanah. Tidak hanya itu Munir juga menjadi salah satu yang terlibat dalam mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Namun setelah itu tragedi pun terjadi, Munir dibunuh saat perjalanannya menuju Ansterdam, Belanda. Munir dibunuh dengan cara diracun “di udara” pada 7 September 2004. Saat itu Munir akan melanjutkan dan memperdalam perjuangannya dalam membela HAM Indonesia. Ia akan menempuh studi hukum di Universitas Utrecht, Amsterdam, Belanda.
Pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang menerbangkan pesawat Garuda yang ditumpangi Munir, menjadi terpindana utama pada kasus pembunuhannya. Tak hanya Polly, pembunuhan Munir juga melibatkan 2 kru Garuda, yakni Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Munir.
Meski dalam pesidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman penjara seumur hidup terhadap Polly. Namun Majelis Hakim hanya menjatuhi hukuman 8 tahun penjara terhadap Polly dan dinyatakan bebas bersyarat pada tahun 2014.
Hal inipun menuai kontroversi di kalangan publik, lantaran hukuman yang diberikan tidak sesuai atas kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku.
Tanjung Priok Berdarah
Peristiwa Tanjung Priok merupakan kerusuhan pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Indonesia.
Peristiwa ini berawal ketika Bintara Pembina Desa (Babinsa) menyuruh jamaah Musala As- Sa’adah untuk melepas pamflet di Musala. Babinsa menilai tidak sesuai dengan paham Pancasila. Saat itu pemerintahan Soeharto gencar memberantas paham tak berasaskan Pancasila imbas dari pemberontakan PKI.
Selang dua hari dari intruksi pelepasan pamlet itu, namun pamfelt belum dilepas. Kemudian Sersan Hermanu lakukan pencopotan paksa pamflet tanpa melepas sepatu di area dalam Musala.
Ia juga menyiram air comberan ke dinding-dinding Musala. Tindakan itu menimbulkan reaksi dari warga setempat, sehingga mengakibatkan motor yang digunakan oleh Sersan Hermanu dibakar habis oleh warga.
Paska kejadian itu aparat militer menangkap Syarifuddin, Sofwan, Ahmad, dan Muhammad Nur. Ke-empat orang itu ditangkap dengan tuduhan memprovokasi warga.
Amir Biki, tokoh masyarakat, meminta kepada Komandan Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara untuk membebaskan 4 orang itu. Namun permintaan Amir Biki tidak direpon dengan baik dan terkesan mempermainkannya.
Amir Biki meresponnya dengan mengumpulkan para tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat se-Jakarta guna menggagas forum umat Islam.
Forum Umat Islam berhasil menggerakan 1.500 orang untuk bergerak menuju Polres Jakarta Utara. Namun belum tiba di Polres Jakarta Utara, pasukan militer bersenjata lengkap menghadang massa aksi dari dua arah.
Massa aksi terus melanjutkan pergerakannya meski telah diperingatkan, hingga pada akhirnya, sejata diarahkan dan timah panas menghujani massa aksi dengan membabi buta.
Pemerintah berupaya menuntaskan permasalahan HAM ini pada tahun 2023. Ada 12 orang dinyatakan bersalah dan keluarga korban berhak mendapatkan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi.
Selang dua tahun kemudian. Para terdakwa mengajukan banding. Pengadilan tinggi mengabulkan banding mereka serta mencabut kewajiban negara memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
Publik Indonesia yang menyesalkan putusan hakim dikarenakan hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan perbuatan keji yang mereka lakukan kepada para korban.
Semanggi Berdarah September 1999
Tragedi Semanggi II bermula ketika para mahasiwa menuntut pembatalan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan pencabutan dwi fungsi ABRI/TNI.
Mahasiswa menilai RUU PKB memberikan kekuasaan yang berlebih kepada pemerintah dalam penanganan situasi darurat, diantaranya memberikan wewenang penuh kepada Presiden untuk menetapkan keadaan darurat (aksi demonstrasi dan semacamnya).
Kemudian memberikan kekuasaan penuh kepada aparat untuk melakukan tindakan-tindakan represif dalam mengatasi situasi darurat.
Sementara dwi fungsi ABRI/TNI mengakibatkan berkurangnya peluang warga sipil di bidang pemerintahan disebabkan dominasi anggota ABRI/TNI menduduki kursi-kursi pemerintah. Mahasiswa menilai hal itu menjadikan tidak transparannya sistem pemerintahan di Indonesia pada masa itu.
Selain itu ketika ABRI/TNI memegang pemerintahan kerap terjadi pelanggaran HAM dan kerusuhan. Selang beberapa waktu pasca disahkannya RUU PKB. Gelombang gerakan mahasiswa, buruh, aktivis, lembaga non-pemerintah dan profesi diseluruh Indonesia serentak menuju ke gedung DPR.
Mereka membawa tututan DPR membatalkan UU itu. Pada peristiwa ini mengakibatkan Hap Yun Hap, mahasiswa Teknik Elektro Universitas Indonesia (UI) menjadi salah satu korban. Peluru tajam aparat menembus otot kanan badannya dan menewaskannya.
Aparat seolah tidak berkaca dengan peristiwa – peristiwa sebelumnya. Mulai dari Tragedi Semanggi I sampai Tragedi Semanggi II. Aparat seperti tidak mau belajar dari peristiwa sebelumnya.
Sampai saat ini kasus tersebut tak kunjung menemui titik terang sekaligus menambah rapor merah pemerintah Indonesia dalam menangani kasus pelanggaran HAM.
Dalam tragedi 24 September 1999 ini 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya luka-luka, menjadi peristiwa pelanggaran HAM berat dalam sejarah Indonesia.
Menolak Tambang Salim Kancil Ditebang
Salim Kancil seorang petani yang memmiliki kepedulian terhadap lingkungan harus mendapati pembunuhan sadis terhadap dirinya.
Salim Kancil adalah aktivis lingkungan hidup yang lantang menolak tambang pasir yang ada di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Tambang pasir mengakibatkan kerusakan lingkungan desa. Mulai dari saluran irigasi persawahan yang rusak, hingga padi tak bisa ditanam akibat air laut yang menggenangi area persawahan setelah pasir yang ada di pesisir terus-menerus dikeruk hingga tak bersisa.
Salim beserta warga lainnya melakukan gerakan yang bertujuan untuk menolak adanya tambang di desa tersebut.
Hariyono, kepala desa Selok Awar-Awar mulai resah dengan aktivitas Salim dan rekan-rekannya yang terus menentang tambang pasir tersebut.
Kemudia Hariyono bersama rekannya, Mat Dasir, menyuruh 40 orang preman untuk melakukan pengeroyokan terhadap Salim. Pada 26 September 2015, 40 orang suruhan Hariyono mengeroyok Salim dengan batu dan parang, hingga meninggal secara tragis.
Dua aktor utama pembunuhan terhadap Salim, Hariyono dan Mat Dasir, hanya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Masyarakat setempat menilai bahwa vonis yang para pelaku dapatkan tidak sesuai dengan perbuatan yang telah mereka lakukan terhadap Salim Kancil.