BUDAYA  

Kampung Madras Bermandi Cahaya Diwali

Kampung Madras sudah ada sejak tahun 1880 dan berdiri di atas lahan sebagai hibah Sultan Deli Mahmud Al Rasyid kepada imigran asal Tamil Nadu.

Kereta diarak Perayaan Diwali di kampung Mdras, Meda, Sumatera Utara
Iklan Pemilu

Selasa, 19 November 2024

Alunan musik khas Asia Selatan menggema dari pelantang suara warna biru muda merek ternama buatan Jepang. Pelantang suara  dipasang di salah satu sudut Jalan KH Zainul Arifin, Kota Medan, Sumatra Utara. Petikan dawai sitar, veena, tambura, dan sarod beradu dengan tabuhan tabla sehingga menghadirkan harmonisasi suara yang menghangatkan suasana malam di jantung ibu kota Provinsi Sumatra Utara.

Alunan musik juga mengiringi arak-arakan kereta dengan ornamen semacam altar mini yang dihiasi patung melambangkan Lakshmi, dewi kemakmuran dan kemenangan.

Seluruh sudut kereta bermandikan cahaya lampu yang membuat malam makin meriah.

Tak hanya satu kereta, ada sekitar 10 kereta sejenis yang terang benderang karena disiram cahaya lampu yang menyinarinya.

Festival Cahaya

Kereta ini ditarik oleh beberapa orang dan diarak di sepanjang Jalan KH Zainul Arifin hingga ke Jalan Gajah Mada. Orang-orang yang menyaksikannya tampak gembira.

Mereka berpakaian adat mirip masyarakat di India. Kaum perempuan dewasa memakai sari dan anak-anak gadis mengenakan punjabi.

Kemudian kaum pria rata-rata memakai dhoti yang mirip baju gamis atau koko.

Mereka memang merupakan warga keturunan India yang mendiami kawasan Kampung Madras. Pada momentum itu, mereka sedang menggelar perayaan Diwali atau Deepavali.

Diwali merupakan perayaan keagamaan bagi umat Hindu serta Sikh, Jain, selain Buddha dengan caranya masing-masing.

Biasanya, Diwali dirayakan tiap Oktober atau November, berdasarkan kalender Hindu. Tahun 2024. Diwali di Indonesia dirayakan oleh masyarakat India pada 1 November.

Baca Juga  Dengan Semangat Kolaborasi Desa Pulo Sibandang Sumut Kembangkan Wisata

Perayaan Diwali lebih diingat oleh masyarakat India sebagai festival cahaya.

Seperti dilansir oleh Hindustan Times, gemerlap cahaya lampu melambangkan kemenangan Rama melawan Rahwana dengan bantuan Hanoman seperti dikisahkan pada epos Ramayana.

Cahaya menjadi simbol pengetahuan dan kebijaksanaan, sedangkan kegelapan mewakili hal-hal buruk pada diri manusia seperti iri hati, dengki, serakah, kecurangan, ketidakadilan, dan kehancuran.

Menurut Independent, perayaan yang telah dilaksanakan sejak 2.500 tahun lampau oleh masyarakat India di seluruh dunia.  Mereka menggelarnya selama 5 hari berturut-turut dengan ritual yang berbeda-beda.

Warga Hindu India di Kampung Madras selain pergi ke kuil, juga membersihkan dan menghias rumah, menyiapkan aneka makanan dan menyalakan aneka lampu di sekeliling tempat tinggal dan sudut-sudut jalan.

Mereka juga menggelar pesta untuk merayakan kemenangan di antara gemerlap cahaya lampu. Aneka makanan dan masakan khas India tersaji selama Diwali seperti ayam tandoori, canai, nasi biryani, samosa, masala yang tentunya kaya akan rempah.

Bahkan di sepanjang Jalan KH Zainul Arifin digelar puluhan tenda putih yang menjajakan penganan khas Asia Selatan yang menggugah selera.

Asal Usul

Sejarawan Hendri Dalimunte menuturkan, keberadaan orang-orang India di Medan dan sekitarnya tak lepas dari peran Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha perkebunan tembakau Deli asal Belanda yang membuka lahannya di Sumatra Timur, nama lama dari Sumut.

Mereka umumnya adalah imigran asal Tamil Nadu yang masuk ke Medan pada 1873, sebagai buruh di kebun tembakau Deli.

Baca Juga  Membangun Langkat Tanpa Meninggalkan Identitas Budaya

Seiring berjalan waktu, orang-orang India ini mengelompokkan diri dan membangun komuitasnya sendiri di Kota Medan, seperti halnya masyarakat pendatang lain.

Selanjutnya, Sultan Deli Mahmud Al Rasyid pada 1880 memberi kesempatan kepada komunitas masyarakat pendatang untuk mendiami lahan milik kesultanan termasuk orang-orang India.

Tokoh masyarakat Hindu Kota Medan Matha Riswan mengungkapkan, orang-orang India juga menyebar ke Binjai, Tebing Tinggi, Tanjungbalai, Pematang Siantar, dan Deli Serdang.

Belakangan, kawasan permukiman masyarakat India ini disebut sebagai Kampung Keling yang diambil dari Kalingga, nama sebuah kerajaan masa lampau di India.

Hanya saja, warga di kampung itu merasa risih dengan penamaan daerah mereka karena terkesan rasis sebab keling dalam bahasa Melayu artinya gelap.

Akhirnya pada Agustus 2008 Kampung Keling diubah namanya menjadi Kampung Madras.

Ini seiring mulai beroperasinya angkutan kota yang melewati lokasi ini dengan rute Sambu-Kampung Madras-Tanjung Sari.

Kampung Madras

Kampung Madras tidak hanya sohor di Medan atau Sumut. Nama kampung yang diambil dari satu daerah di India itu sudah terkenal hingga mancanegara. Kampung tersebut merupakan satu dari sedikit permukiman masyarakat India yang ada di Nusantara.

Luas Kampung Madras sekira 10 hektare (ha) dan terletak di antara Kecamatan Polonia dengan Kecamatan Petisah yaitu di sekitar Jalan KH Zainul Arifin, Jalan Gajah Mada hingga Jalan S Parman. Lokasinya tak jauh dari kantor gubernuran Sumut.

Penanda paling mudah yaitu gapura dominan warna kuning berornamen hewan seperti burung merak dan aneka ukiran dan terdapat tulisan Welcome to Little India yang membentang di ujung Jalan KH Zainul Arifin. Gapura ini mulai dipasang pada 2018.

Baca Juga  Benteng Pendem Merawat Masa Lalu Merangkai Masa Depan

Little India adalah nama lain dari kawasan yang dihuni oleh sekitar 100 kepala keluarga warga keturunan India tersebut.

Menjaga Toleransi

Ada hal menarik lainnya yang selalu dijaga oleh komunitas India di Kampung Madras yakni toleransi dalam berkehidupan.

Kendati mayoritas menganut Hindu dan Sikh, ada juga warganya yang memeluk Islam. Karenanya, selain ada gurdwara atau rumah ibadah Sikh dan Kuil Shri Mariamman, di kampung itu juga berdiri Masjid Ghaudiyah.

Nama itu diambil dari sebuah perkampungan keturunan India Muslim di Iran. Semua rumah ibadah di kampung tersebut dibangun saling berdekatan.

Ketika warga India Muslim merayakan Idufitri ataupun Iduladha. Warga India yang beragama lain akan bergotong royong membantu menyiapkan kegiatan hari raya tersebut, begitu pula sebaliknya.

Ini pula yang membuat etnis lain seperti Tionghoa dan Melayu merasa nyaman karena masih tetap terjaganya toleransi di antara mereka.

sumber Indonesia.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *