Dalam politik modern 100 hari pertama kepemimpinan Kepala Daerah dianggap sebagai momen bulan madu antara pemimpin dengan rakyatnya. Terlebih dengan tim pemenangan, ingin segera mendapatkan porsi dan kedudukannya.
Pada fase ini, rakyatnya memasang ekspektasi tinggi terhadap pemimpinnya. Masa 100 hari kerja pertama bukanlah sekadar formalitas.
Namun menjadi variabel awal mengukur dan menilai komitmen kepala daerah. Dalam menentukan skala prioritas pembangunan dan keberpihakan kepala daerah.
Periode 100 hari pertama menjadi varibel penilaian. Apakah kepala daerah benar-benar memiliki keberpihakan kepada rakyatnya? Atau malah lebih condong kepada pentingan para pemodal atau pendukungannya semata?
Fase ini juga menjadi, periode krusial dalam menetapkan fondasi pemerintahannya yang kuat.
Catatan sejarah telah menyajikan bahwa keberhasilan atau kegagalan pada fase ini dapat menjadi penunjuk arah kepemimpinannya.
Sekali lagi, di fase ini, pemimpin menggunakan momentum besar ini untuk mendorong program-program prioritas.
Jika mereka tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik, politik bisa meredup, dan publik mulai kehilangan kepercayaan.
Tentu pada fase ini, bukan sebagai pembuktian menepati (mewujudkan) seluruh janji kampanyenya. Namun, bagaimana kepala daerah dalam 100 hari kerja dapat menentukan skala prioritas yang realistis.
Pastinya kita dapat memahami bahwa tidak semua janji kampanye dapat langsung kita wujudkan dalam waktu singkat.
Birokrasi menambah tantangan, anggaran terbatas (terlebih di tengah kebijakan efisiensi), atau dinamika politik lokal.
Maka, sejatinya kepala daerah harus mampu menunjukan political willnya dalam memilah program yang berdampak nyata dan langsung kepada rakyatnya.
Menyisir permasalahan rakyat dan daerahnya dengan aksi-aksi yang dapat menunjukan kemauan dan kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan daerahnya.
Tentu di fase ini daerah harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengorkestrasikan kepemimpinan untuk menyelesaikan permasalahan dengan cepat dan tuntas, bukan hanya menampilkan kerja-kerja ceremonial belaka.
Pisau Bermata Dua
Tradisi mengukur dan mengevaluasi 100 hari pertama bermula pada era Presiden Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933.
Dalam 100 hari pertama kepemimpinanya. Ia berhasil meloloskan 15 undang-undang utama melalui Kongres. Tindakan itu untuk mengatasi Depresi Besar, sehingga menetapkan standar tinggi bagi pemimpin-pemimpin berikutnya.
Selanjutnya, 100 hari pertama menjadi tolok ukur efektivitas dan arah kebijakan seorang pemimpin baru.
Namun perlu menjadi catatan bahwa 100 hari pertama dapat menjadi ‘pisau bermata dua’.
Publik menghadirkan tekanan kepada pemimpinnya untuk bertindak dengan cepat. Namun, hal itu dapat pula membuat pemimpin mengambil keputusan dengan tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Bahkan dapat menimbulkan permasalahan baru.
Namun di sisi lain, eksekusi yang terlalu lama dan terlalu hati-hati bisa menimbulkan persepsi kurangnya inisiatif atau kepemimpinan yang lamban.
Maka penting bagi seorang kepala daerah atau pemimpin untuk menyeimbangkan antara penyelesaian masalah dengan cepat dan perencanaan tindakan yang matang.
Analogi “menari di atas kaca tipis” menyiratkan bahwa diawal kepemimpinan. Setiap langkah harus diambil dengan penuh perhitungan agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang.
Sebaliknya, kegagalan dalam 100 hari pertama juga kerap terjadi. Terutama jika pemimpin terlalu sibuk mengakomodasi kepentingan politik tanpa fokus pada kebutuhan rakyat.
Jangan Hanya “Omon-Omon”
100 hari pertama kepemimpinan bukanlah sekadar simbolisme gimmick politik. Namun lebih dari itu.
Momentum itu merupakan peluang emas bagi kepala daerah. Mereka dapat mengkonversinya sebagai pembuktian kompetensi dan kapasitasnya sebagai pemimpin yang bertindak dengan cepat dan tepat.
Keberhasilan pada fase ini akan menunjukan kepemimpinan yang matang, political will kepada daerah dan keberanian mengambil keputusan strategis. Serta kemampuan mengelola ekspektasi publik secara realistis.
Tanpa langkah konkret dan efektif, janji-janji politik saat kampanye hanya akan menjadi retorika kosong.
Dan visi misi hanya menjadi lembaran catatan tanpa makna. Serta akan semakin memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap dirinya dan pemerintahan yang dipimpinnya.
Maka penting bagi kepala daerah yang baru terpilih untuk menyadari bahwa mereka tidak hanya menghadapi ujian dari janji-janji politik.
Namun, mereka juga harus mengambil tindakan nyata yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Bukan sekadar ‘OMON-OMON.’