Sadarkah kita bahwa Langkat sedang mengalami krisis yang tak kasat mata, namun dampaknya begitu nyata, yakni krisis identitas dalam pembangunan. Setiap tahun pemerintah daerah selalu membangun gedung, jalan, dan proyek fisik lainnya, tetapi lupa membangun manusianya.
Kondisi tersebut diperparah dengan hilangnya narasi besar tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana sebenarnya kita ingin membawa daerah ini.
Padahal, kita memahami bahwa Langkat bukan daerah tanpa sejarah. Ratusan tahun lalu, Publik mengenal Kesultanan Langkat sebagai salah satu pusat kebudayaan yang maju. Bahkan Tanjung Pura, ibu kota kesultanan, pernah menjadi kota pendidikan dan peradaban.
Namun kini, kejayaan dan kemasyuran itu tinggal kisah masa lalu. Generasi Langkat hari ini tumbuh tanpa kebanggaan terhadap tanah kelahirannya, dan pembangunan berjalan tanpa visi kultural yang mengakar.
Pembangunan Tanpa Jiwa
Dalam membangun daerah, kita terlalu teknokratis. Yang menjadi acuan hanya pertumbuhan lewat angka, APBD, proyek infrastruktur, tanpa menyentuh esensi pembangunan manusianya.
Pembanguan daerah tanpa membekali generasi dengan identitas budaya yang kuat. Sehingga mereka tumbuh dengan lebih mengenal budaya luar daripada memahami sejarah dan nilai-nilai budaya lokal.
Ini bukan semata soal “melestarikan budaya”, dengan aturan berbusana. Tetapi lebih dari itu, bagaimana kita menjadi budaya sebagai modal sosial dalam membangun daerah. Tanpa narasi budaya, manusia akan tumbuh kering dan kehilangan arah.
Kita bisa mencetak lulusan-lulusan sarjana, tapi tidak mencetak pemimpin. Kita bisa membangun gedung-gedung mewah, tapi tak bisa membangun karakter warganya.
Butuh Revolusi Narasi
Sebagai jalan keluar dari permasalahan itu, Langkat ini perlu membangun ulang narasinya. Tentu ini bukan tugas pemerintah semata, tapi panggilan untuk seluruh elemen masyarakat, baik itu akademisi, tokoh adat, pemuda, seniman, jurnalis, hingga aparat desa.
Kita perlu merancang kembali definisi arah pembangunan Langkat. Bukan sekadar menjadi maju secara ekonomi, tetapi juga menjadi bermartabat sebagai masyarakat yang tahu jati dirinya.
Kemudian jalan yang mesti kita lakukan adalah mereformulasi kurikulum muatan lokal. Sekolah-sekolah di Langkat harus mengajarkan sejarah lokal, sastra kedaerahan, tokoh-tokoh Langkat, dan adat istiadat sebagai bagian dari pendidikan karakter.
Revitalisasi ruang budaya dengan menyelenggaran festival budaya, panggung kesenian, lokakarya sastra. Serta mengadakan kelas diskusi sejarah harus rutin digelar di desa-desa, sekolah, bahkan kantor pemerintahan.
Menjadikan budaya sebagai basis kebijakan publik disetiap proyek pembangunan daerah harus ditimbang tidak hanya dari aspek ekonomi, tapi juga dari dampaknya terhadap pelestarian nilai-nilai budaya lokal.
Saatnya Bergerak Bersama
Tentu kita tak ingin Langkat hanya menjadi daerah penyangga yang terus tertinggal. Untuk itu, kita harus memulainya dari membangun manusianya. Kita tak melepaskan pembangunan dari membangun identitas dan narasi budayanya.
Kita tidak butuh menunggu pemimpin visioner turun dari khayangan. Narasi ini bisa kita mulai dari sekarang, dari ruang kelas, dari mimbar masjid, dari media sosial, dari ruang diskusi kecil di warung kopi.
Kita harus menyusun narasi besar Langkat maka Langkat akan terus dibentuk oleh narasi orang lain dan bukan mustahil, kita akan menjadi asing di tanah sendiri.
Mari kita kembalikan Langkat sebagai pusat peradaban. Bukan dengan nostalgia kosong, tapi dengan membangun masa depan yang berpijak kuat pada akar budaya.