suarain.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024, akan digelar pada 27 Nopember 2024 mendatang.
Saat ini pun sudah masuk pada tahapan percermatan administrasi bakal calon yang akan ditetapkan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum setiap daerah pada 22 September 2024.
Selanjutnya masuklah pada masa kampanye. Pasangan calon yang mengikuti kontestasi pemimpin daerah itu, tentu akan mempromosikan dirinya kepada masyarakat guna meraih dukungan dan masyarakat menjatuhkan pilihan kepadanya.
Tak hayal metode kampanye akan dilakukan oleh setiap pasangan calon kepala daerah. Baik dengan menyampai visi misi, janji politik ataupun menyerang lawan guna mengerus simpatik masyarakat terhadap rivalnya.
Dalam kampanye ada dua metode kampaye yang banyak orang mengira sama namun pada hakikatnya berbeda, yakni saol Kampanye Hitam (Black Campaign) dan Kampaye Negatif (Negative Campaign).
Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, kampanye hitam dan kampaye negative itu dua hal yang berbeda.
Pengertian Kampanye Hitam dan Negatif
Kampanye negatif adalah kampanye yang dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik melalui data riil yang ditampilkan.
Pada dasarnya, penggunaan kampanye negatif ini dipandang sah secara hukum. Bahkan, kampanye negatif dapat digunakan untuk menyoroti perbedaan di antara kandidat, sehingga membantu pemilih membuat keputusan dalam memilih para calon pemimpin.
Hal ini dikarenakan, kampanye negatif menggunakan data riil dalam menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan negatif.
Kampanye hitam adalah kampanye dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik. Black campaign dapat pula diartikan sebagai kampanye yang bersifat kepada penghinaan, menyebarkan berita bohong, fitnah, atau ditujukan untuk menjatuhkan kandidat tertentu.
Selain itu, kegiatan black campaign tidak hanya merugikan pasangan dari calon yang diajukan dalam pemilihan umum (“pemilu”), tetapi juga merugikan masyarakat karena menerima informasi palsu atau hoax dan menuding pihak lawan dengan tuduhan palsu yang belum terbukti, atau bisa juga melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin.
Kampaye Negatif Tidak Dilarang
Melansir laman Law Universitas Indonesia, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso menjelaskan dalam hukum kepemiluan, kampanye negatif diizinkan, sedangkan kampanye hitam dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang di dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521 Undang-Undang Pemilu.
Pada pasal 280 ayat (1) huruf c berbunyi, “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.”
Sementara pada pasal 521, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i, atau j, dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.”
Jika kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin.
Sebagai contoh, kampanye negatif dalam kontes pemilihan presiden (pilpres) dilakukan dengan mengumbar data hutang luar negeri petahana calon presiden (capres) oleh pihak lawan. Sementara contoh untuk kampanye hitam, menuduh seseorang tidak pantas menjadi pemimpin karena agama atau rasnya.
“Kampanye negatif ini aspek hukumnya sah saja. Bahkan, itu berguna membantu pemilih membuat keputusannya. Misal, ada berita yang menunjukkan data-data, misal hutang luar negeri, itu sah dan bisa saja dikeluarkan. Pemilih akan lebih cerdas memilih,” jelas Topo pada seminar “Politik Transaksional, Korupsi Politik, dan Kampanye Hitam pada Pemilu 2019 dalam Tinjauan Hukum Pidana” di gedung Fakultas Hukum UI, Depok, Jawa Barat (9/10/20).
Oleh karena kampanye negatif tidak dilarang, maka pihak yang diserang oleh pihak lainnya melalui kampanye negatif semestinya tak lapor ke polisi.
Pihak yang bersangkutan dapat membalas dengan mengeluarkan sebuah data valid atau argumen yang dapat membela posisinya.
Namun jika lawan politik melakukan kampanye hitam, suatu pihak baru dapat melaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
3 Perbedaan Kampaye Hitan dan Negatif
Lebih menjelaskan, Dilansir dari laman Law Universitas Indonesia, Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Totok Suhartoyo, memaparkan tiga hal pembeda kampanye negatif dengan kampanye hitam.
Pertama dari sisi sumber, pelaku kampanye negatif jelas, sedangkan pelaku kampanye hitam tidak jelas.
Kedua dari sisi tujuan, kampanye negatif bertujuan untuk mendiskreditkan karakter seseorang, dan kampanye hitam bertujuan untuk menghancurkan karakter seseorang.
Kedua dari sisi kebenaran, kampanye negatif menggunakan data yang sahih, sementara kampanye hitam datanya tak sahih atau mengada-ada.
Menurut Totok, membuktikan seseorang bersalah atas kasus dugaan tindak pidana kampanye negatif bukanlah hal mudah. Biasanya, penyidik menggunakan dua pendekatan. Salah satunya, apakah yang dilakukan oleh terlapor menurunkan harkat martabat seseorang.
Selain sanksi dalam UU Pemilu, kampanye hitam di media sosial dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) UU ITE mengancam pelaku kampanye hitam di media sosial dengan hukuman penjara hingga 6 tahun.