Langkat adalah kabupaten dengan sejarah kebudayaan yang panjang, kaya, dan kompleks. Di sinilah jejak Kesultanan Langkat berdiri megah, akifitas seni, sastra klasik Melayu, adat istiadat, tarekat sufi, hingga permainan dan ritus di pedalaman.
Namun di tengah geliat pembangunan yang semakin mendominasi wacana daerah. Kita patut bertanya, apakah kebudayaan Langkat benar-benar diarus utamakan atau hanya dijadikan simbol kosong?
Untuk menjawabnya, kita harus menyelami apa yang disebut sebagai Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).
Dokumen ini bukan sekadar laporan biasa. Ia adalah kontrak moral sekaligus instrumen strategis untuk mewujudkan amanat besar dari UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
UU menegaskan bahwa setiap daerah wajib menyusun PPKD sebagai bahan utama penyusunan Strategi Kebudayaan Nasional, sekaligus sebagai dasar pembangunan berbasis budaya.
Namun, pertanyaan krusialnya. Sudahkah, Pemerintah menjalankan PPKD secara serius terintegrasi dan lintas sektor? Ataukah, Pemerintah menyusunnya hanya sebatas kewajiban administratif. Lalu melupakan setelah menyerahkannya ke pusat ?
Pentingkah PPKD
PPKD memuat potensi budaya daerah, tantangan yang dihadapi. Kemudian strategi pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan objek pemajuan kebudayaan (OPK).
Ada 10 OPK yang menjadi landasannya, yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Menurut Permendikbud Nomor 10 Tahun 2018. Pemda menyusun PPKD secara partisipatif dan menjadikannya dasar oleh seluruh OPD, bukan hanya dinas kebudayaan.
Dengan kata lain, PPKD seharusnya menjadi roh dalam setiap rencana pembangunan daerah, mulai dari RPJMD, RKPD, hingga program sektoral bidang pendidikan, pariwisata, ekonomi kreatif, UMKM, lingkungan, bahkan pertanian dan lainnya.
PPKD Langkat Masih di Tepi Jalan
Langkat memang telah menyusun PPKD pada 2018, bersamaan dengan momen nasional penyusunan Strategi Kebudayaan. Namun, setelah tujuh tahun berlalu, tidak banyak yang tahu apa isi dokumen tersebut, apalagi melihat implementasinya di lapangan.
Bappeda tidak menggunakan PPKD sebagai pijakan utama dalam menyusun RPJMD. Dinas Pariwisata sibuk dengan promosi destinasi, tapi nyaris tak menyentuh warisan tak benda.
Sementara OPD Pendidikan belum mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal ke dalam kurikulum muatan lokal yang serius.
Serta UMKM lebih fokus pada pendekatan pasar ketimbang warisan produk berbasis budaya.
Sementara itu, komunitas budaya mulai dari seniman tari, penulis aksara Jawi, pelaku tradisi berahoi, hingga guru-guru agama di surau tua tidak pernah dilibatkan atau melibatkan diri secara rutin dalam reviu dan evaluasi PPKD.
Bahkan banyak di antara mereka yang tidak tahu PPKD itu apa. Lalu kita bertanya: untuk siapa dokumen itu disusun? Dan siapa yang bertanggung jawab menjadikannya hidup?
Budaya Mati Secara Sistematis
Kebudayaan tidak akan punah secara instan. Ia perlahan mati saat generasi muda tidak lagi melihat veluenya (nilai), saat pemerintah abai terhadap warisannya, dan saat perencanaan pembangunan mencampakkannya sebagai urusan “sampingan”.
Saat, Pemda tidak menjalankan PPKD yang mati bukan hanya naskah kuno atau lagu daerah. Namun kesadaran kolektif tentang jati diri, Jalur transmisi pengetahuan dari generasi tua ke muda, Ekosistem kreatif berbasis nilai lokal.
Dan pada akhirnya, yang kita wariskan hanyalah kehampaan, diselimuti plakat dan festival sesaat tanpa dampak jangka panjang.
Jika kita ingin kebudayaan sungguh-sungguh menjadi pilar pembangunan di Langkat, maka seluruh jajaran pemerintahan harus terlibat secara aktif.
Siapa yang Bertanggungjawab
PPKD tidak akan hidup, kita hanya menyerahkannya kepada Dinas Kebudayaan. Upaya itu memerlukan keterlibatan nyata dan terukur dari aktor-aktor kunci pemerintahan. Bupati dan Wakil Bupati adalah pemegang arah visi pembangunan.
Mereka bertanggung jawab memastikan bahwa kebijakan pembangunan daerah terutama RPJMD berakar pada PPKD. Mereka harus menjadikan kebudayaan sebagai investasi strategis, bukan sekadar agenda seremonial tahunan.
Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pimpinan birokrasi lintas OPD, memegang kunci untuk mengintegrasikan PPKD ke dalam renstra dan rencana aksi semua dinas.
Tanpa dorongan dari Sekda, kebijakan lintas sektor akan terus berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi atau kesadaran budaya.
DPRD Kabupaten Langkat memiliki tanggung jawab legislatif dan pengawasan. Mereka bisa mendorong lahirnya Perda tentang Pemajuan Kebudayaan beserta turunnnya.
Lalu mengawal alokasi anggaran berbasis PPKD, serta menuntut pertanggungjawaban OPD agar pelaksanaan program berbasis budaya bisa diukur dan dievaluasi.
Jangan biarkan DPRD hanya diam saat arah pembangunan semakin menjauh dari akar tradisi.
Singkatnya, jika ketiga elemen ini Bupati/Wakil, Sekda, dan DPRD tidak bersinergi secara aktif, maka PPKD akan tetap menjadi dokumen mati.
Padahal, di sinilah terletak kompas kebudayaan kita. Arah, strategi, dan harapan jangka panjang bagi identitas Langkat.
Jalan Menuju Peradaban Daerah
Jika Langkat ingin bangkit dan dunia mengenalnya, maka kita harus menghidupkan PPKD.
Caranya bukan dengan mengadakan seremoni peluncuran, tapi melalui Reviu Substansi PPKD Secara Berkala. PPKD harus diperbarui minimal setiap lima tahun.
Timnya harus lintas disiplin melibatkan budayawan, akademisi, tokoh adat, generasi muda, dan pelaku kreatif.
Integrasi Lintas OPD secara nyata. Setiap OPD harus diminta menyusun program tahunan yang berakar dari PPKD, lengkap dengan indikator capaian dan alokasi anggaran.
Dorongan regulasi yang kuat, DPRD Langkat harus memikirkan Peraturan Daerah tentang Pemajuan Kebudayaan yang menjadikan PPKD sebagai rujukan hukum lintas sektor, bukan hanya panduan moral.
Dana dan Insentif untuk Program berbasis budaya. Melalui Dana Desa, APBD, hingga kemitraan dengan swasta, BUMD dan CSR, pemerintah daerah bisa mendorong pelestarian budaya secara produktif dan menguntungkan masyarakat.Transparansi dan akses publik terhadap PPKD.
Pemda harus mempublikasikannya secara terbuka di situs pemerintah dan perpustakaan digital. Warga perlu mengakses, menhkritisi, dan mengembangkannya bersama-sama.
Pilar Masa Depan Langkat
Kebudayaan bukan hanya warisan. Ia adalah modal sosial yang menentukan arah masa depan. Dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), pemajuan budaya secara langsung khusus berkontribusi pada SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) lewat kurikulum berbasis kearifan lokal.
SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan) lewat pelestarian ruang budaya dan identitas lokal. SDG 16 (Institusi yang Inklusif dan Transparan) melalui tata kelola yang melibatkan masyarakat adat dan komunitas budaya.
Bahkan tidak menutup kemungkin ke tujuh belasnya. Mengabaikan budaya berarti menafikan komponen penting dari pembangunan berkelanjutan.
Gali Kuburan Sendiri
Kebudayaan Langkat tidak akan bertahan hanya dengan seremoni, pentas tahunan, atau museum yang sunyi.
Kita hanya bisa menghidupkannya dengan memasukkannya ke dalam jantung perencanaan pembangunan. Menjalankannya bersama oleh semua pihak dari pejabat sampai petani, dari pemangku adat hingga sekolah dasar.
Karena budaya bukan sekadar tontonan, tapi tuntunan. Ia bukan hanya untuk dipamerkan di atas panggung, tetapi harus menyatu dalam cara kita berpikir, bekerja, dan merancang masa depan.
PPKD adalah janji kolektif kepada masa lalu dan masa depan. Namun jika kita membiarkan jadi tumpukan kertas tak terbaca, makas sejatinya, kita sedang menggali kubur untuk jati diri sendiri.
Kematian kebudayaan tidak datang dengan teriakan. Ia datang pelan-pelan lewat kebijakan yang tidak berpihak, lewat generasi muda yang asing dengan tanah airnya sendiri, lewat pembangunan yang tak mengenal akar budaya.
Langkat masih punya harapan. Ia bisa menjadi pusat kebangkitan budaya Melayu pesisir. Namun ada syaratnya, berani memulai dari hal mendasar menghidupkan PPKD sebagai pijakan lintas sektor dan kesadaran publik.
Kita tidak menolak kemajuan. Kita hanya meminta agar kemajuan tidak memusnahkan akar. Ikuti zamanmu, tapi jangan tinggalkan budayamu. Karena saat kita kehilangan budaya, kita kehilangan arah.
Dan saat arah hilang, yang tersisa hanyalah pembangunan yang kosong jiwa. Menghidupkan PPKD berarti memenuhi komitmen kita pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Pertanyaannya, beranikah kita memilih jalan kebudayaan, bukan sekadar kemegahan?
Beranikah Langkat lewat Bupati, Sekda, DPRD, dan seluruh jajarannya memilih jalan kebudayaan sebagai jalan pembangunan yang berdaulat dan berkelanjutan?
Karena, kita sedang mempertaruhkan makna menjadi orang Langkat, bukan sekadar warisan.