suarain.com – Lelaki itu tumbuh dan besar dari kedua orang tua yang alim. Salah satu leluhurnya adalah Abu Musa.
Seorang yang Alim di antara generasi terbaik dalam kurun zaman yang pernah ada.
Generasi yang menyaksikan kemuliaan wajah Rasul, generasi emas yang kata sang Kanjeng Nabi: Khairul Qurun, Qarni, sebaik-baiknya zaman adalah zamanku. Kaum yang menyertai perjuangannya.
Lelaki itu tumbuh besar, di tengah fitnah zaman.
Rasul mencemaskan zaman, zaman kehidupan umatnya nanti menjelang wafanya. Di penghujung nafasnya, dipangkuan Aisyah bulir air mata agungnya memecah.
Tangis sesengkukan orang-orang yang mencintainya yang berada di sekelilingnya, sadar akan waktunya sang Rasul segera pergi. Ia bergumam lirih, pedih terdengar! Ummati…Ummati..Ummati..
Zaman Pertikaian
Kini, lelaki itu tumbuh besar di zaman itu. Di tengah Zaman yang terjadi begitu banyak Pertikaian pendapat, bahkan sampai kepada tema-tema yang paling pokok terhadap masalah agama.
Saling kafir mengkafirkan. Zaman membesarkannya, bertumbuh dan menjadi ulama yang alim membela Aliran Mu’tazilah.
Aliran yang pernah ketika itu mendapat perlindungan dari Khlaifah Al makmun, al Mu’tashim dan al Watsiq tiga dari khalifah Abbasi ini mendukung penuh sehingga berbagai peristiwa berdarah dan konflik antara sesama ulama terjadi begitu menyedihkan.
Aliran ini merebak di seluruh wilayah jazirah Arab sampai ke Yaman dan lelaki itu kini menjadi pembela paling serius terhadap aliran Mu’tazilah ini.
Setiap kali ia melontarkan hujjah dalam membela aliran ini, tidak ada yang mampu mengimbanginya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasa kering. Ia merasa berada dalam pertentangan logika yang tidak ada ujungnya.
Mengutamakan Akal
Logika dibalas logika, begitu seterusnya.
Tak jarang, tema kecil sebuah perdebatan, membahas berhari-hari tanpa ujung , membuat ia lelah, ia merasa hanya menuhankan akal.
Ia depresi dan menghilang selama 15 hari merenungi perjalanan intelektualnya di dalam mempertahankan ajaran tersebut, hingga suatu malam pada bulan Ramadhan ia bermimpi, bertemu dengan lelaki agung nan mulia dalam mimpinya Rasul berdialog dengan Ali dan berkata: “Wahai Ali, Tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena Itu yang benar.”
Lelaki itu terus berpikir keras hingga pertengahan Ramadhan ia bermimpi kembali, bertemu Rasul,Namun kali ini rasul langsung berdialog dengannya:
“Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?”
Lelaki itu menjawab:”Aku telah memberikan pengertian yang benar terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan darimu.”
Lalu Nabi pun berkata:” Tolonglah pendapat-pendapat dariku karena itulah yang benar.” (Khazanah Azwaja: 28)
Selepas mimpi-mimpi itu Lelaki semakin bermurung durja, ia berniat melepaskan ilmu kalam yang selama ini ditekuninnya.
Menempuh Jalan
Ia terus mengaji, membahas kitab hadis akibat ketakutannya terhadap amanat yang disampaikan rasul melalui mimpi tersebut.
Ia terus menghafal hadis, membaca alquran di sepanjang harinya, hingga suatu malam yang sangat melelahkan baginya, ia pun tak kuasa tertidur.
Untuk kali ketiga ia bermimpi bertemu sang Rasul kembali: “apa yang kamu lakukan terhadap perintahku dulu?”
Lelaki itu menjawab dengan gugup yang begitu hebat:
” Aku telah meninggalkan Ilmu Kalam, dan menekuni alquran dan hadis”
Rasul berkata lagi, “Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam, aku hanya memerintahkan kamu untuk menolong pendapat-pendapat dariku karena hanya itu yang benar”.
Lelaki itu menjawab lagi, “ Wahai Rasul, bagaimana mungkin aku mampu meninggalkan mazhab yang telah aku ketahui masalah-masalah dan dalil-dalinya selama tiga puluh tahun hanya karena mimpi? Ia mencoba berargumen.
Rasul hanya tersenyum, senyumannya yang bercahaya itu mampu menyinari seluruh alam semesta.
Dengan mulia ia berkata kembali: ”Andaikan aku tidak tahu bahwa Allah akan menolongmu dengan pertolongannya, , tentu aku akan menjelaskan kepadamu semua jawaban atas masalah-masalah (ajaran Mu’tazilah) itu. Bersungguh-sungguhlah dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan pertolonganNya.”
2 Sisi
Ia terbangun dan tersentak, dalam lirihnya, ia berkata: “Selain kebenaran, pasti kesesatan.”
Mulai saat itu, sepenuh hatinya ia berjuang membela dan menekuni hadis-hadis dan dalil-dalil shohih dengan metode ilmu kalam yang ia yakini lalu meninggalkan ajaran mu’tazilah.
Ia, lelaki yang berada di baris depan dalam membela akidah ahlus sunnah Wal jamaah.
Lelaki dari Suku Asy’ar dari Yaman itu adalah generasi dari Abu Musa al ‘asy’ari, seorang lelaki yang mendampingi perjuangan Rasul.
Abu Musa yang suatu saat Sang Nabi berkata, ketika turun Qs. Al Maidah:54:
“Hai orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak aku akan medatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencinta-Nyai.”
Lalu setelah ayat itu, rasul berkata sambil menunjuk Abu Musa, dan berkata: “Mereka adalah kaumnya Laki-laki ini.”
Abu Musa Al –‘Asy’ari adalah leluhurnya lelaki yang bercahaya itu. Lelaki itu adalah Abu Hasan Al-Asy’ari. Cahaya dari negeri Yaman untuk Ahlus sunnah Wal Jamaah. Allahu yarham…………….