BUDAYA  

Tanjung Pura: Sebuah Nama, Tiga Cerita, Seribu Makna

Jauhar Abdillah - Penggiat Budaya

Tanjung Pura: Sebuah Nama, Tiga Cerita, Seribu Makna
Tanjung Pura: Sebuah Nama, Tiga Cerita, Seribu Makna
Iklan Pemilu

Di jantung pesisir timur Sumatera, tersembunyi sebuah nama yang tak pernah usang diingat: Tanjung Pura. Sebuah kampung tua yang berdiri di pertemuan dua sungai besar Sei Wampu dan Sei Batang Serangan menjadi saksi bisu tumbuhnya peradaban Melayu Langkat yang kokoh dalam akar sejarah dan budaya.

Nama ini bukan sekadar sebutan geografis. Ia adalah simbol, narasi dan jejak peradaban yang hidup dalam tiga versi cerita rakyat, hikayat, dan rekaman sejarah lisan.

Masyarakat Langkat mewariskan tiga cerita dari mulut ke mulut, dari datuk hingga ke cucu, yang membentuk kesadaran kolektif mereka akan asal-usulnya

Di balik kesederhanaan namanya, “Tanjung Pura” menyimpan tiga lapisan makna alam, siasat, dan simbol kuasa. Beginilah kisahnya.

Jejak Sang Raja di Ujung Damak

Jejak Sang Raja di Ujung Damak

Pada awal abad ke-18, kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera menjalin hubungan satu sama lain saat laut masih menjadi jalur transportasi utama.

Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah dari Kesultanan Siak Indrapura mengutus seorang bangsawan muda bernama Ahmad untuk memperluas wilayah pengaruh Siak di timur Sumatera.

Ia bukan sekadar utusan, tapi pewaris kedaulatan yang kelak menjadi peletak dasar Kesultanan Langkat. Ahmad bersama hulubalangnya menyusuri pantai timur Sumatera, berlayar melintasi gugusan pulau dan kampung pesisir.

Perjalanan membawanya berlabuh di daratan yang meruncing, yakni ujung semenanjung. Kini, orang mengenalnya sebagai Ujung Damak (sekarang Kwala Langkat

Tapi rasa penasaran dan tanggung jawab membawanya lebih jauh: ia menaiki perahu kecil, memasuki sungai-sungai yang menembus rimba belantara.

Di tengah-tengah aliran sungai yang tenang dan sejuk, Ahmad tiba di sebuah tanjung kecil. Air jernih mengelilingi serta angin yang berembus lembut. Ikan-ikan berenang bebas membuat sang raja muda merasa damai. Di tempat itu, ia memilih beristirahat lebih lama.

Baca Juga  Masjid Menjadi Saksi! Dulu Kerajaan, Kini Hanya Salah Satu Kabupaten di Sumatera

Sebelum melanjutkan perjalanan ke hulu, ia memerintahkan mendirikannya sebuah “pura” sebuah bangunan penanda, semacam tugu kecil atau gerbang yang menjadi simbol kehadiran dan klaim.

Sepulangnya dari hulu, Ahmad tidak kembali ke Siak. Ia memilih menetap di tanjung itu. Ia membangun pusat permukiman, menyusun struktur masyarakat, dan mengembangkan sistem pemerintahan.

Sejak saat itu, masyarakat menyebut tanjung tempat berdirinya pura itu sebagai Tanjung Pura, perpaduan antara bentuk geografis dan penanda spiritual-politik.

Tanjung Pura menjadi pusat baru yang hidup, tempat bertemunya alam, manusia, dan kehendak sejarah.

Asap dan Siasat Menyelamatkan Negeri

Asap, Siasat, dan Sabut Kelapa: Negeri yang Terselamatkan oleh Tipu Daya
Asap, Siasat, dan Sabut Kelapa: Negeri yang Terselamatkan oleh Tipu Daya

Namun sejarah tak pernah berjalan damai sepenuhnya. Kemajuan Langkat mengundang perhatian kerajaan tetangga.

Cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat menyebut datang acaman dari arah timur.

Kerajaan Deli mendapati dukungan dari Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, mengancam Langkat dengan ambisi memperluas wilayah kekuasaan.

Situasi semakin genting. Raja Ahmad menyadari bahwa pasukannya kalah dalam jumlah dan persenjataan.

Namun dalam dunia Melayu, kecerdikan seringkali lebih ampuh daripada kekuatan. Maka sang raja menyusun strategi luar biasa: bukan untuk menyerang, tapi untuk menciptakan ilusi kekalahan.

Pada malam yang gelap, para pengawal dan warga bergotong royong menyiapkan perahu-perahu berisi sabut kelapa kering.

Setelah siap. Raja Ahmad menghanyutkan perahu-perahu itu ke Sungai Batang Serangan. Kemudian membakarnya hingga menyala.

Api membumbung, asap mengepul, dan dari kejauhan tampak seolah pasukan Raja Ahmad telah terbakar habis.

Pasukan Deli dan Aceh pun terkecoh. Mereka menyangka Raja Ahmad telah mengorbankan seluruh armadanya dalam pertempuran bunuh diri. Dalam kepanikan dan kebingungan. Musuh mundur tanpa melepaskan satu anak panah pun.

Tanah Langkat selamat. Dan dari peristiwa itu, lahirlah istilah “Tanjung Pura” berasal dari kata “pura-pura”, sebuah siasat yang menyelamatkan negeri.

Baca Juga  Festival Iraw Tengkayu, Kebudayaan Suku Tidung Sarat Filosofi Kehidupan

Dalam budaya Melayu, hal ini bukanlah pengkhianatan, melainkan bagian dari hikmah strategi. Seperti pepatah mereka berkata:

“Menang tak semestinya dengan parang, kadang cukup dengan bayang.”

“Berkilat senjata, bukan untuk menyembelih, tetapi menakutkan.”

Oleh sebab kisah itu, khalayat mengenang Tanjung Pura sebagai lambang kejayaan akal budi mengalahkan senjata.

Pura-Pura Pindah: Siasat dalam Bayang Kabut Kekuasaan

Pura-Pura Pindah: Siasat dalam Bayang Kabut Kekuasaan
Pura-Pura Pindah: Siasat dalam Bayang Kabut Kekuasaan

Cerita ketiga menawarkan dimensi yang berbeda: politik dalam kabut perang.

Deli meningkatkan tekanan sehingga membuat Raja Ahmad mengambil langkah mengejutkan. Ia memindahkan pusat kekuasaan dari Air Tawar (Gebang) ke Kampung Tanjung.

Namun, pemindahan itu tidak sepenuhnya nyata. Ia melakukannya sebagai siasat pengalihan pusat pemerintahan. Sebuah tindakan “pura-pura pindah” untuk membingungkan dan mengecoh musuh.

Dalam waktu singkat, Raja Ahmad membangun istana darurat, rumah-rumah panggung, dan sistem administrasi simbolik.

Musuh mengintai dari kejauhan tidak lagi mengetahui pusat pemerintahan yang sebenarnya. Mereka ragu menyerang.

Rakyat pun merasa aman. Kampung Tanjung perlahan hidup dan berkembang, dan karena peran sentralnya dalam strategi bertahan, nama Tanjung Pura pun melekat, sekali lagi, bukan hanya tempat, tapi simbol siasat dan kecerdasan diplomasi.

Cerita ini menjadi pelajaran penting dalam warisan Melayu: bahwa kuasa tidak selalu harus keras. Keteguhan bisa dibangun dengan kelenturan. Kekuasaan bisa dijaga dengan kecermatan melihat peluang.

Lebih dari Sekadar Nama. tiga versi cerita. Tiga lapisan makna. Satu nama.

Tanjung Pura bukan sekadar lokasi, bukan sekadar jejak geografis di peta Langkat.

Ia adalah tapak sejarah, tanda budaya, dan simbol nilai-nilai leluhur.

Dalam dirinya terkandung pesan bahwa peradaban tumbuh bukan hanya dari besi dan batu, tetapi dari narasi dan makna yang diwariskan.

Baca Juga  Si Kelambai Raksasa Luhur Negeri Langkat

Jadi apakah asal nama Tanjung Pura berasal dari: Tanjung tempat didirikannya pura? Siasat ‘pura-pura’ membakar perahu untuk mengelabui musuh? Atau Kepiawaian dalam berpura-pura pindah pusat kekuasaan demi keselamatan negeri?

Mungkin ketiganya benar. Mungkin tak satu pun sepenuhnya tepat. Tapi sejarah lokal bukanlah bilangan eksak.

Ia hidup dalam cerita yang dituturkan, bukan hanya dituliskan.

Ingatan kolektif komunal membentuknya, bukan hanya sekadar arsip resmi. Itulah kekuatan Tanjung Pura: sebuah nama yang lentur namun kuat, berubah namun tetap mengakar.

Apa yang Tanjung Pura Ajar kepada Kita Hari Ini?

Dalam dunia yang terus berubah dan seringkali keras, kisah Tanjung Pura memberi kita pelajaran berharga: Strategi lebih penting dari kekuatan semata.

Raja Ahmad tidak memenangkan tanah Langkat dengan perang terbuka, tetapi dengan akal, taktik, dan kerja sama rakyatnya.

Warisan budaya tak harus selalu monumental. Kadang, sebuah nama, sebuah cerita rakyat, lebih kuat dari tugu dan prasasti.

Cerita adalah kekuatan. Tanjung Pura hidup sampai hari ini bukan karena arsitekturnya, tetapi karena narasinya yang terus hidup dalam masyarakat.

Menjaga Nama, Merawat Makna

Hari ini, Tanjung Pura adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Mungkin ia tak lagi seperti dulu tenang, tersembunyi, dan dikelilingi hutan belantara.

Namun nama itu tetap memanggil kita untuk mendekat, untuk mendengar kembali suara masa lalu, dan merasakan napas sejarah yang masih bergema di tepian sungai.

Sebab di setiap tanjung, ada arah. Di setiap pura, ada penanda. Dan di setiap cerita, ada identitas yang mesti dijaga.

“Tanjung Pura bukan hanya nama. Ia adalah jiwa sebuah negeri.”

 

Sumber: Cerita rakyat dan Tradisi lisan masyarakat Langkat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *