Sabtu, 26 Oktober 2024
_________________
Menjelang Pilkada 2024, kekompakan pasangan calon kepala daerah dan wakilnya kembali menjadi sorotan. Kekompakan yang dimaksud mengacu pada kemampuan kepala daerah dan wakilnya untuk bekerja sama dan saling mendukung.
Baik dalam merumuskan kebijakan, mengambil keputusan, hingga mengatasi tantangan dalam keseharian pemerintahan.
Namun, apakah kekompakan semacam ini dapat bertahan sepanjang masa jabatan?
Sejak Pilkada langsung pertama kali digelar pada 2005. Fenomena “pecah kongsi” antara kepala daerah dan wakilnya kerap terjadi. Hal ini menjadi ironi dalam politik.
Fenomena ini umumnya muncul saat kepala daerah yang telah terpilih bersama wakilnya mulai menunjukkan ketidakharmonisan menjelang Pilkada berikutnya.
Konflik antara keduanya sering kali disebabkan oleh ketidakjelasan pembagian kewenangan dan peran.
Wakil kepala daerah yang kerap merasa terpinggirkan dalam pengambilan keputusan, sementara kepala daerah mencurigai ambisi politik sang wakil yang mungkin ingin maju sebagai kepala daerah di Pilkada berikutnya.
Ketidak harmonisan inilah yang memunculkan persaingan atas posisi pemerintahan. Tidak hanya berimbas pada hubungan kedua pemimpin tersebut tetapi juga mengganggu kinerja dan pelayanan publik.
Pelayanan kepada masyarakat menjadi tersendat, dan pembangunan daerah bisa terhambat.
Drama Pecah Kongsi
Bukan hanya sekadar drama politik, pecah kongsi ini mencerminkan kegagalan sistem pemerintahan daerah menjaga stabilitas dan pelayanan publik.
Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, sekitar 94,64% pasangan kepala daerah di Indonesia mengalami fenomena pecah kongsi.
Data ini memperlihatkan betapa tingginya angka konflik internal yang terjadi, yang kemudian berdampak pada upaya pembangunan di daerah.
Pilkada yang seharusnya menjadi sarana demokratis untuk memajukan daerah malah menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan apabila terus berulang.
Sebagai masyarakat, penting untuk lebih kritis dalam memilih pasangan calon kepala daerah. Masyarakat seyogyanya tidak hanya mengedepankan elektabilitas, tetapi juga mampu menjaga kekompakan selama masa jabatan.
Jika terus terjebak pada fenomena yang sama, maka kita akan menyaksikan kepala daerah dan wakilnya lebih sibuk menyiapkan pencalonan untuk periode berikutnya daripada melayani kebutuhan masyarakat.
Partai politik pun memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini.
Bukan Pasangan Dadakan
Perekrutan pasangan calon (paslon) Kepala Daerah harus mempertimbangkan pasangan yang mampu bekerja sama hingga akhir masa jabatan.
Paslon bukan sekadar pasangan dadakan untuk memenuhi syarat pencalonan. Jika tidak, harapan untuk perubahan pasca-Pilkada 2024 akan kembali terkubur.
Jangan sampai fenomena pecah kongsi ini terulang, dan Pilkada 2024 kembali menjadi ajang perebutan kekuasaan yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan publik.
Referensi:
Fajriyah, P. (2017). Pecah Kongsi Petahana Dalam Pencalonan Kepala Daerah di Pilkada Kabupaten Mojokerto, Jurnal Politik Muda. Jurnal Politik Muda, 6(3), 186-193.
___________
Taqwa, Z. (2017). Pecah Kongsi Bupati Dan Wakil Bupati Incumbent Dalam Pemilihan Kepala Daerah Di Sidoarjo (Studi Rational Choice Pemilihan Kepala Daerah Di Kabupaten Sidoarjo) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).