OPINI  

Mengurangi Limbah Makanan, Menjaga Bumi Lewat Meja Makan

Oleh : Alexander Chrisse Ginting Munthe, S. Pd, Guru Tata Boga MAN 3 Kota Padang, Sumatera Barat

Alexander Chrisse Ginting Munthe, S. Pd, Guru Tata Boga MAN 3 Kota Padang, Sumatera Barat
Iklan Pemilu

Saat ini, dunia sedang menghadapi krisis lingkungan yang tidak bisa kita anggap sepele. Perubahan iklim, deforestasi, polusi plastik, hingga kelangkaan air bersih adalah bukti nyata bahwa bumi kita sedang mengalami kerusakan.

Di tengah upaya mencari solusi yang besar, kita sering lupa bahwa ada solusi kecil seperti tidak membuang makanan yang juga sangat berarti. Langkah kecil yang bias kitalukan dari meja makan dan piring makan kita.

Mengurangi limbah makanan adalah salah satu bentuk nyata dari tindakan ekoteologis: tindakan cinta pada bumi yang berakar pada kesadaran spiritual dan etis. Apa itu ekoteologi?

Ekoteologi adalah cabang pemikiran teologis yang mengaitkan relasi antara manusia, Tuhan, dan lingkungan. Dalam perspektif ini, bumi bukan sekadar tempat tinggal atau sumber daya, tetapi ciptaan Tuhan yang memiliki nilai intrinsik.

Merusak lingkungan berarti tidak hanya menyakiti bumi, tapi juga menyakiti kehendak Sang Pencipta. Gerakan ekotologi ini. Gerakan ekoteologis ini dimulai oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sejak tahun 2021, melalui regulasi formal dan pendekatan lintas agama. Terutama lewat kampanye rumah ibadah ramah lingkungan dan pendidikan berbasis pesantren.

Gerakan Ekologis

Gerakan ini menunjukkan bahwa spiritualitas dan tanggung jawab ekologis dapat berjalan beriringan dalam kebijakan negara berbasis nilai-nilai keagamaan. Bahkan dalam kegiatan pengangkatan PPPK dan CPNS formasi tahun 2024 ada hal yang sangat luar biasa terjadi.

Baca Juga  Membangun Ulang Narasi Besar, Dari Krisis Identitas Menuju Langkat Maju

Melalui surat edarannya Menteri Agama Republik Indonesia Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA memerintahkan seluruh PPPK dan CPNS untuk menanam satu bibit pohon dirumah ibadah. Serta kantor KUA dan sekolah berbasis agama sebelum hari pengangkatan.

Bisa kita bayangkan 71.366 bibit pohon dari PPPK dan 17.221 bibit pohon dari CPNS. Ini menandakan bahwa program ekoteologi di kementerian agama Republik Inodonesia bukan sekedar wacana tapi bukti nyata yang besar bagi Indonesia.

Dalam banyak tradisi agama yang ada diIndonesia, ada pesan moral yang kuat untuk menjaga keberlangusungan kehidupan. Selain menjaga hutan tetap lestari, ada hal kecil juga yang bias kita lakukan untuk menjaga lingkungan.

Dari Meja Makan

Sebagai seorang guru Tata Boga, saya memeliki pandangan kita juga harus menjaga lingkungan dari meja makan atau piring makan kita.

Menurut data FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mencatat bahwa sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahunnya secara global.

Di Indonesia sendiri, limbah makanan diperkirakan mencapai 13 juta ton per tahun. Ironisnya, itu terjadi saat masih banyak orang yang tidur dalam keadaan lapar.

Limbah makanan tidak hanya membuang sumber daya pangan, tapi juga energi, air, dan lahan yang digunakan untuk memproduksi makanan tersebut. Belum lagi emisi gas rumah kaca dari proses produksi hingga pembuangan makanan.

Baca Juga  Intimidasi Jurnalis, Pemerkosaan Hutan dan Gambaran Kerakusan Manusia

Dengan kata lain, setiap sendok nasi yang dibuang tanpa dimakan menyumbang pada krisis lingkungan yang lebih besar. Lalu bagaimana membuang makanan bisa dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan ekoteologi?

Karena di balik makanan yang kita konsumsi, ada keterlibatan semesta: tanah yang subur, air yang jernih, petani yang bekerja, sinar matahari yang menerangi.

Ketika kita membuang makanan secara sembarangan, kita juga sedang membuang kerja keras, energi alam, dan rahmat yang Tuhan berikan melalui ciptaan-Nya.

Ubah Kebiasaan

Mengurangi limbah makanan berarti kita sedang meneguhkan spiritualitas ekologis. Kita menghargai makanan bukan semata karena nilai gizinya. Namun lebih dari itu, karena kita menyadari makanan adalah hasil dari jaringan kehidupan yang kompleks dan saling bergantung.

Mengubah kebiasaan makan bukan perkara mudah, tapi sangat mungkin dilakukan. Berikut beberapa langkah kecil yang bisa jadi awal gerakan besar:

  1. Lakuakan manajemen sederhana sebelum melakukan proses memasak, seperti menghitung jumlah orang yang makan dan bahan makanan yang dimasak dengan sesuai takaran sewajarnya.
  2. Ambil secukupnya, habiskan sepenuhnya. Budaya ‘mata lebih besar dari perut’ harus mulai diubah. Ambil makanan sesuai kebutuhan, bukan sesuai nafsu.
  3. Gunakan kembali sisa makanan. Tidak semua makanan sisa berarti harus dibuang. Banyak resep kreatif yang bisa memanfaatkan sisa nasi, sayur, bahkan roti kering.
  4. Kreatif dengan bahan pangan lokal. Membeli bahan pangan lokal mengurangi jejak karbon, sekaligus mendukung petani dan ekonomi lokal.
  5. Komposkan sisa organik. Jika tetap ada sisa makanan, alihkan menjadi kompos padat atau cair yang berguna bagi tanaman, bukan dibuang ke tempat sampah.
Baca Juga  Menepuk Air di Dulang, Terpercik Muka Sendiri

Ketahanan lingkungan bukan semata urusan regulasi atau teknologi tinggi. Ia juga tentang kesadaran individu yang dijalankan secara kolektif.

Dampak Besar

Ketika banyak orang mulai bijak dalam mengelola makanan, maka dampaknya akan terasa pada skala yang lebih besar.  Yakni berkurangnya volume sampah, penghematan energi dan air, serta menurunnya emisi gas rumah kaca.

Lebih jauh lagi, ini juga berdampak pada ketahanan pangan. Dengan tidak membuang makanan secara sembarangan, kita ikut memperpanjang ketersediaan pangan dan menekan kebutuhan produksi baru yang membebani bumi.

Diakhir saya ingin menyampaikann, mengurangi limbah makanan adalah tindakan spiritual yang sangat konkret. Cukup dengan langkah kecil dan mengambil satu keputusan sederhana: menghargai makanan.

Tindakan ini mengandung kasih pada bumi, rasa hormat pada petani, dan ketaatan pada Tuhan sebagai Sang Pencipta. Lewat piring makan kita, kita bisa menjadi pelindung bumi. Kita bisa menjadi pelaku ekoteologi, bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam keseharian yang paling sederhana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *