Di jalur lintas yang menghubungkan Kota Medan dan Banda Aceh, terdapat sebuah desa yang mempunyai sebuah cerita lisan bernama Batu Melenggang.
Nama ini mungkin terdengar aneh, bahkan seperti perumpamaan indah dalam bahasa Melayu atau ungkapan puitis seorang penyair. Namun di balik nama itu terkandung cerita leluhur yang sarat makna menggabungkan sejarah lokal, spiritualitas dan nilai-nilai budaya.
Tiga Pemuda Pembuka Kampung
Kisah bermula di masa silam, ketika Kesultanan Langkat masih menjadi pusat kekuasaan dan adat di pesisir timur Sumatra Utara.
Diceritakan bahwa tiga pemuda bertekad membangun kampung baru untuk menjadi tempat tinggal dan meneruskan kehidupan yang lebih baik.
Salah satu di antara mereka adalah Haji Usman, leluhur yang kemudian dikenal luas dalam sejarah desa.
Dari keturunannya lahir Penghulu Itam Saleh, yang kelak menjadi penghulu pertama Desa Batu Melenggang.
Ketiganya tidak asal membuka perkampungan, sebab dalam adat Melayu, segala sesuatu harus dimulai dengan restu dan adab.
Mereka pun menghadap Sultan Langkat ditemani salah seorang kedatukaan empat suku yaitu datuk Cempa, memohon izin untuk mencari lahan baru.
Sang Sultan, yang dikenal bijaksana, mengizinkan dengan syarat bahwa tempat yang mereka temukan tidak boleh melanggar batas adat atau merugikan wilayah lain.
Menuju Tanah Yang Lapang
Dengan semangat dan izin raja, mereka memulai perjalanan ke arah selatan. Jalanan mereka tempuh dengan susah payah, melewati ilalang, semak, dan hutan yang belum dijamah. Namun secara ajaib, perjalanan terasa ringan.
Pepohonan tidak terlalu lebat, tanah terasa bersih, dan langkah mereka seakan dilapangkan oleh alam. Mereka merasa seperti melenggang, berjalan tanpa beban di antara rahmat semesta.
Ketika sampai di suatu tempat yang lapang dan tenang, mata mereka tertuju pada sebuah batu besar yang berdiri kokoh. Yang mengherankan, batu itu terlihat seperti turut melenggang bersama langkah mereka.
Bukan karena bergerak, tetapi ada semacam ilusi atau isyarat gaib yang membuat batu itu seakan hidup dan menyambut mereka. Bagi ketiganya, itu adalah pertanda: tempat ini telah memilih mereka.
Lahirnya Nama Sebuah Kampung
Mereka pun kembali menghadap Sultan Langkat dan menyampaikan apa yang mereka alami.
“Ampunkan patik, Tuanku. Kami menemukan lahan yang lapang, tanahnya bersih, langkah terasa ringan. Bahkan, kami melihat sebuah batu besar yang tampak ikut melenggang bersama kami.”
Sang Sultan tersenyum dan menjawab, “Kalau begitu, berilah nama kampung kalian itu: Kampung Batu Melenggang.”
Sejak saat itu, tempat tersebut dikenal sebagai Desa Batu Melenggang—nama yang lahir dari pengalaman spiritual dan rasa batin yang mendalam.
Ini bukan sekadar label geografis, tapi hasil dari pertemuan antara manusia, alam, dan restu raja. Sebuah nama yang menyimpan kesadaran kolektif akan pentingnya hubungan harmonis antara niat, alam, dan adat.
Batu Keramat
Kini, desa itu berkembang menjadi permukiman yang rukun dan lestari. Di tengahnya, batu besar yang dulu dilihat ketiga pemuda itu masih berdiri tegak, menjadi simbol keramat dan kebanggaan masyarakat.
Warga meyakini, batu itu bukan sekadar batu, melainkan penjaga kampung, saksi sejarah yang menyimpan energi leluhur.
Konon, di masa penjajahan, ada pihak yang berusaha menghancurkan batu tersebut. Namun tak peduli dihantam, dipahat, bahkan diledakkan batu itu tetap utuh.
Ada pula kisah tentang seseorang “berkepandaian tinggi” yang berhasil memindahkannya ke Brandan. Tapi keesokan harinya, batu itu telah kembali ke tempat semula, tanpa ada yang tahu bagaimana caranya.
Cerita-cerita ini membentuk kepercayaan kolektif bahwa batu tersebut memiliki jiwa dan penjaga gaib. Ia bukan disembah, tapi dihormati sebagai warisan yang harus dijaga dengan hati.
Ritual, Warisan, dan Larangan
Warga Batu Melenggang memiliki hubungan spiritual yang erat dengan batu itu. Hingga kini, mereka masih menjalankan ritual syukur seperti menyembelih kambing, melepaskan ayam, atau membawa sesajen sebagai bentuk terima kasih atas hajat yang terkabul.
Dalam budaya Melayu, hal ini bukanlah bentuk pemujaan, tapi ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, lewat perantara tanda-tanda alam yang dihormati.
Namun kisah tak berhenti di sana. Pernah suatu ketika, batu tersebut dikelingi kain kelambu dan dibangun atap oleh pemilik lahan tempat batu itu berdiri.
Tak lama setelah itu, orang tersebut jatuh sakit dan mendapat mimpi bahwa batu itu tidak ingin dipuja-puja atau dijadikan benda suci.
Setelah mimpi itu disampaikan kepada tokoh adat, atap dan kelambu pun segera dibongkar. Kisah ini menjadi pengingat penting: bahwa penghormatan tidak boleh berubah menjadi pengultusan.
Batu itu adalah saksi, bukan pusat pemujaan. Ini menggambarkan keseimbangan antara spiritualitas dan kesadaran budaya dalam kehidupan masyarakat Melayu Langkat.
Nilai Budaya yang Hidup
Kisah Batu Melenggang mengajarkan nilai-nilai budaya, Adab dan tata karma, Segala sesuatu dimulai dengan izin dan restu. Niat baik tanpa sopan santun bukanlah budaya Melayu.
Hubungan harmonis dengan alam, Alam bukan untuk dikuasai, tetapi untuk dihormati. Bahkan langkah kaki pun harus menyatu dengan tanah, semak, dan batu.
Syukur dan ikhtiar: Doa dan usaha berjalan bersama. Batu itu hanya perantara; yang penting adalah niat yang tulus dan ikhtiar yang ikhlas.
Lebih dari Sekadar Nama
Batu Melenggang bukan hanya nama di peta, melainkan narasi hidup yang terus diceritakan. Kata melenggang sendiri bermakna ringan, mulus, dan lapang.
Sebuah harapan bahwa hidup di desa ini akan selalu dimudahkan oleh restu leluhur dan kebaikan niat penduduknya. Dalam dunia modern yang makin cepat melupakan akar, kisah ini menjadi pengingat bahwa nama adalah warisan jiwa. Jika dirawat, diceritakan, dan dihayati, ia akan menjadi akar kuat bagi generasi selanjutnya.
Batu yang Melenggang dalam Ingatan
Masyarakat Batu Melenggang hari ini mewarisi lebih dari sekadar kampung halaman. Mereka mewarisi ruh dari sebuah kisah, dari nilai budaya yang tak tertulis.
Namun hidup dalam laku harian, sopan santun, penghormatan terhadap alam, dan keyakinan pada restu yang tak kasat mata.
Dan batu itu, batu yang terlihat melenggang, meski diam, ia berjalan terus di dalam ingatan.
Ia adalah penanda bahwa jalan hidup akan selalu lapang, jika niat baik disandingkan dengan adab, doa, dan penghormatan terhadap leluhur.
“Batu Melenggang” adalah simbol kehidupan yang seimbang, kokoh seperti batu, tapi ringan dan lapang seperti langkah yang diberkahi.”
Kampung ini berdiri atas dasar keteguhan niat (batu) dan kelapangan langkah (melenggang).
Ia menjadi cermin dari filsafat hidup masyarakat Melayu Langkat bahwa hidup harus berakar kuat pada nilai, tapi dijalani dengan kelembutan, keanggunan, dan harmoni dengan semesta