OPINI  

Romansa Historis Bung Karno dan Vatikan: Diplomasi yang Menjunjung Kemanusiaan

Penulis Rizky Zikri Mahensya - Aktivis Mahasiswa Marhaen

Presiden Sukarno diterima oleh Paus Yohanes XXIII di Istana Vatikan, 14 Mei 1959. Sumber, Merdeka, 22 Mei 1959, Diwarnai Oleh Suarain.com, 2 Mei 2025
Iklan Pemilu

Tak banyak yang tahu bahwa di tengah perjuangan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif, Bung Karno pernah menapakkan kaki di Vatikan dan berjabat tangan dengan Paus Yohanes XXIII.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1959, dalam kunjungan kenegaraan yang secara simbolik mempertemukan dua pemimpin besar dunia.

Satu dari Asia yang baru merdeka, satu dari pusat peradaban Eropa yang telah berusia ribuan tahun.

Pertemuan ini bukan sekadar catatan diplomatik. Ia merekam satu babak penting di mana Indonesia. Melalui sang proklamator, berani tampil di panggung dunia sebagai negara muda yang membawa visi kemanusiaan global.

Soekarno dan Paus Yohanes XXIII, meski berasal dari dunia yang sangat berbeda. Ternyata punya kesamaan pandangan: bahwa perdamaian dan martabat manusia harus berdiri di atas segala perbedaan ideologi, agama, dan ras.

Bung Karno mengunjungi Vatikan bukan karena kedekatan religius, melainkan karena keyakinan bahwa nilai-nilai universal dapat dijembatani melalui dialog.

Dalam konteks itu, Bung Karno menunjukkan satu hal yang jarang dimiliki pemimpin era kini: keberanian berpikir melampaui sekat geopolitik.

Baca Juga  Satu Paslon Di Pilkada Langkat Lawan Kotak Kosong, Asumsi atau Ilusi

Ia tak hanya bicara tentang kepentingan Indonesia, tetapi tentang dunia yang lebih adil dan seimbang. Dalam pertemuannya dengan Paus. Ia menunjukkan bahwa diplomasi tidak harus selalu berbasis blok atau kekuatan militer. Diplomasi bisa berbasis nilai dan yang paling kuat di antaranya adalah nilai kemanusiaan.

Vatikan, sebagai aktor global non-negara yang memiliki pengaruh luas, memang kerap memainkan peran moral dalam dinamika dunia.

Di sinilah Soekarno melihat potensi sinergi. Ia menyadari, perjuangan bangsa-bangsa terjajah tidak akan cukup jika hanya dilakukan dengan senjata atau diplomasi regional. Ia butuh dukungan suara moral dunia dan Vatikan punya kapasitas untuk itu.

Relasi antara Indonesia dan Vatikan sejak saat itu dibangun bukan karena kesamaan identitas, tetapi karena kesamaan komitmen. Dalam menjaga perdamaian, merawat nilai-nilai universal, dan menghindari dominasi satu kekuatan atas yang lain.

Indonesia Butuh Pemimpin Seperti Soekarno

Inilah romansa yang tak tertulis dalam kitab ideologi, tetapi tercermin dalam laku dan jejak sejarah.

Hari ini, saat dunia kembali dipenuhi konflik, polarisasi, dan fragmentasi identitas, kisah Bung Karno dan Vatikan terasa relevan kembali.

Baca Juga  Standar Ganda DPR RI Terhadap Putusan MK

Ia mengajarkan bahwa hubungan antarbangsa bisa dibangun di atas fondasi etika, bukan sekadar kepentingan. Ia menunjukkan bahwa bangsa muda seperti Indonesia pun bisa menjadi bagian dari percakapan global yang besar asal punya visi dan keberanian.

Kita membutuhkan lebih banyak pemimpin seperti Bung Karno: yang memandang dunia bukan sebagai arena pertarungan kekuatan, tetapi sebagai ruang percakapan akal dan nurani. Dan mungkin, kita juga butuh mendengar kembali suara-suara dari tempat-tempat sunyi seperti Vatikan yang meski tidak bersenjata, mampu menggugah kesadaran dunia.

Karena pada akhirnya, dalam sejarah umat manusia, kekuatan yang paling bertahan bukanlah yang paling keras, melainkan yang paling manusiawi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *