BERITA  

Petuah Tenggara, Menjaga Nyala Budaya Melayu dari Ulu Brayun

Iklan Pemilu

Di tengah keterbatasan dan minimnya perhatian dari pemerintah daerah, komunitas budaya Petuah Tenggara tetap bergiat melestarikan seni musik dan lagu Melayu. Bermarkas di Ulu Brayun, Desa Ara Candong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Komunitas ini menjadi salah satu oase kebudayaan yang terus menyuarakan identitas Melayu lewat harmoni nada dan syair.

Petuah Tenggara kerap tampil secara mandiri di berbagai ruang publik, salah satunya di arena Car Free Day (CFD) di Alun-alun Tengku Amir Hamzah. Penampilan mereka bukan semata hiburan. Di balik alunan lagu dan dentingan alat musik tradisional, tersimpan semangat menjaga dan merawat budaya yang perlahan terpinggirkan zaman.

“Kami sadar mungkin tak bisa berharap banyak dari pemerintah. Tapi kami percaya budaya Melayu tak boleh padam. Lewat musik, kami ingin generasi muda tahu siapa dirinya,” ujar Liyas salah satu personel Petuah Tenggara, Senin 4 Agustus 2024 di Stabat.

Komunitas ini berdiri atas dasar kecintaan terhadap budaya Melayu yang kaya akan nilai, sejarah, dan keindahan seni. Mereka memadukan alat musik tradisional seperti gambus, gendang, dan biola Melayu dengan lagu-lagu berbahasa daerah yang sarat makna. Karya-karya mereka bukan hanya merdu, tapi juga sarat edukasi kebudayaan.

Baca Juga  Pemkab Langkat Tertibkan Pedagang Pasar Tradisional Tanjung Pura

Semangat Dari Tokoh Budaya

Petuah Tenggara Saat Tampil di Car Free Day di Alun Alun Tengku Amir Hamzah, Stabat

Tokoh budaya Sumatera Utara, Tengku Zainuddin, turut mengapresiasi langkah-langkah yang diambil Petuah Tenggara. Ia menyebut komunitas ini sebagai “penjaga bara budaya” yang tak pernah padam meski kerap berjalan tanpa dukungan penuh.

“Petuah Tenggara bukan hanya memainkan musik, mereka menghidupkan kembali roh Melayu dalam kehidupan masyarakat. Ini adalah kerja besar yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah,” ujar Tengku Zainuddin.

Hal senada, Joe Abdillah, tokoh penggerak budaya di Langkat, menilai keberanian Petuah Tenggara tampil mandiri di ruang publik adalah bentuk protes yang elegan.

“Mereka tampil bukan karena diundang, tapi karena merasa terpanggil. Mereka tidak menunggu festival atau perayaan adat, karena bagi mereka, budaya bukan hanya milik acara seremonial, tapi milik rakyat setiap hari,” tegas Joe, pencetus nama Petuah Tenggara.

Sayangnya, perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah terhadap komunitas seperti Petuah Tenggara masih minim. Mereka kerap mengandalkan iuran pribadi dan donasi sukarela untuk menutupi kebutuhan operasional, termasuk biaya latihan, transportasi, hingga perawatan alat musik.

Baca Juga  Tabrakan Beruntun di Gerbang Tol Ciawi Libatkan 6 Kendaraan, 8 Orang Tewas

Namun, hal itu tak menyurutkan semangat mereka. Setiap pekan, mereka tetap hadir di tengah kerumunan warga, membawa pesan budaya dengan lantunan lagu yang akrab dan menyentuh hati.

Petuah Tenggara membuktikan bahwa menjaga budaya tak harus dengan fasilitas mewah. Cukup dengan semangat, komitmen, dan cinta terhadap warisan leluhur, budaya Melayu dapat terus hidup dan berakar kuat di tengah arus modernitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *