OPINI  

Ketika Tradisi Dipentaskan, Nelayan Ditinggalkan

Oleh: Joe Abdillah

Iklan Pemilu

Jamu Laut adalah sebuah tradisi pesisir yang dahulu tumbuh dari relasi sakral antara manusia dan laut. Ia merupakan bentuk penghormatan masyarakat nelayan terhadap alam, melalui doa, sesaji, dan upacara ritual yang diwariskan turun-temurun.

Namun kini, tradisi itu dipentaskan kembali dalam balutan seremoni besar dengan panggung adat yang megah, prosesi budaya yang rapi, serta kehadiran tokoh-tokoh penting yang memberi legitimasi acara. Semua tampak menggembirakan, seolah-olah budaya pesisir kita sedang mengalami masa keemasan.

Namun di balik semarak itu, terselip sebuah pertanyaan yang layak diajukan dengan jujur: di mana suara para nelayan?

Dari Tradisi Menjadi Panggung

Jamu Laut sejatinya adalah upacara sakral yang lahir dari kesadaran ekologis masyarakat pesisir: bahwa laut adalah ruang hidup bersama, bukan sekadar sumber tangkapan. Di dalamnya ada doa, harapan, dan rasa syukur yang dibungkus dalam simbol dan ritus. Nelayan menjadi pusatnya mereka membawa persembahan ke laut, memimpin doa bersama, dan merawat nilai-nilai spiritual yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari.

Namun dalam perhelatan-perhelatan terkini, makna tersebut mulai tergeser. Jamu Laut berubah menjadi pertunjukan budaya yang megah, terencana, dan terkesan eksklusif.

Baca Juga  Paradoks Lebaran: Ajang Pencitraan Diri atau Spirit Nilai Agama Pasca Ramadan?

Para tokoh adat dan elite kebudayaan tampil di panggung, sementara nelayan yang seharusnya menjadi pelaku utama justru kerap hanya menjadi penonton.

Nelayan Sebagai Figuran Budaya

Kita patut bertanya dengan jujur, seberapa besar keterlibatan nelayan dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan Jamu Laut hari ini?

Apakah mereka duduk di ruang-ruang diskusi penentu konsep? Apakah mereka menjadi narator utama dalam mendefinisikan ulang tradisi ini? Ataukah mereka sekadar hadir untuk melengkapi eksotika acara?

Dalam banyak kasus, keterlibatan nelayan masih bersifat simbolik. Mereka hadir bukan sebagai subjek kebudayaan, melainkan sebagai objek tontonan diperlukan ketika prosesi berlangsung, tetapi dilupakan dalam pengambilan keputusan. Tradisi pun berubah wajah, dari pengalaman kolektif menjadi konsumsi visual.

Warisan Budaya Takbenda: Warisannya Apa? Yang Arifnya Mana?

Banyak pihak menyebut Jamu Laut sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB), bahkan dikaitkan dengan prinsip kearifan lokal. Tapi untuk menjadikannya warisan sejati, kita perlu menelusuri lebih dalam: apa yang diwariskan? Dan nilai apa yang benar-benar arif?

Apakah warisannya hanya bentuk luar seperti baju adat, sesaji, dan prosesi kapal hias? Atau warisannya adalah sistem nilai: semangat gotong royong, relasi ekologis yang harmonis, dan rasa tanggung jawab kolektif terhadap laut sebagai sumber kehidupan?

Baca Juga  Langkat Tidak Butuh Universitas

Demikian pula soal kearifan. Kearifan bukan berarti mempertahankan bentuk, tetapi mempertahankan makna.

Maka jika Jamu Laut hanya direduksi menjadi ritual tahunan tanpa memberi ruang bagi nilai ekologis, spiritualitas, dan partisipasi komunitas asli, maka sesungguhnya kearifan itu sedang hilang, ditutupi oleh kemasan seremonial.

Dari SDGs hingga Kenyataan

Beberapa penyelenggara menyandingkan Jamu Laut dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya dalam konteks ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan. Ini tentu sebuah framing yang progresif dan patut diapresiasi.

Namun apakah nelayan merasakan dampak dari SDGs itu? Apakah ada tindak lanjut berupa pelatihan ekosistem perikanan berkelanjutan? Apakah ada intervensi teknologi tangkap ramah lingkungan, bantuan akses pasar, atau penguatan koperasi nelayan?

Jika tidak, maka SDGs hanya menjadi jargon dalam pidato, bukan praktik dalam kebijakan.

Tradisi Harus Hidup di Tangan Masyarakat

Sudah saatnya kita meninjau ulang bagaimana tradisi dikelola. Tradisi bukanlah milik segelintir elite budaya atau pemerintah daerah, melainkan warisan hidup milik masyarakat. Maka pelibatan nelayan bukan sekadar pelengkap acara, melainkan fondasi dari pelestarian itu sendiri.

Baca Juga  Pemimpin Tidak Boleh Melakukan Kesalahan, Itu Marwah

Jamu Laut harus dikembalikan ke pangkuan komunitasnya. Biarkan mereka yang hidup dari laut menentukan bagaimana laut dirawat dan bagaimana rasa syukur diekspresikan. Dari situ, makna akan tumbuh, bentuk akan mengikuti, dan keberlanjutan akan terjamin secara sosial, budaya, maupun ekologis.

Kembalikan Laut kepada Nelayan, Tradisi kepada Rakyat

Jika kita ingin Jamu Laut tetap hidup sebagai Warisan Budaya Takbenda yang sejalan dengan prinsip SDGs, maka kita harus memperkuat arus bawah, bukan hanya mengangkat panggung atas.

Tradisi harus lahir dari pengalaman, bukan hanya dari kurator. Ia tumbuh dari hidup yang dijalani bersama, bukan hanya dari naskah seremoni.

Kalau tidak, Jamu Laut akan terus dipentaskan, tetapi kehilangan lautnya. Dan nelayan pemilik sah dari tradisi itu akan terus jadi penonton dalam panggung budaya yang katanya demi mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *