Di tengah hiruk pikuk modernitas dan perubahan sosial yang begitu cepat. Tanjungbalai tetap menyimpan warisan-warisan kebijaksanaan yang lahir dari tubuh budayanya sendiri. Salah satu yang menarik dan perlu dikaji lebih dalam adalah ritus Gobuk. Dimana dalam perkembangannya bertransformasi menjadi Tari Gubang.
Namun, Gobuk bukan sekadar warisan seni. Ia adalah wujud pemulihan kolektif dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai. Jembatan antara budaya dan kesehatan, antara penyakit dan pemulihan, antara individu dan komunitas.
Gubang bukan sekadar seni panggung. Ia adalah sisa dari sebuah sistem penyembuhan yang menyentuh tubuh, jiwa, dan komunitas.
Hari ini, saat pemerintah nasional menggulirkan Program Integrasi Layanan Primer (ILP) sebagai strategi penguatan layanan kesehatan berbasis komunitas. Tanjungbalai memiliki peluang besar untuk mengintegrasikan nilai budaya lokal ke dalam sistem kesehatan modern.
Ritus Penyembuhan Berbasis Komunitas
Gobuk, dalam bentuk asalnya, merupakan ritus penyembuhan tradisional yang dilakukan masyarakat Melayu di pesisir Sumatra Timur, termasuk di Tanjungbalai. Masyarakat melakukan ritus ini ketika seseorang menderita sakit yang dianggap tidak biasa bukan hanya secara fisik, tetapi juga psikis dan spiritual.
Dalam tradisi ini, penyakit tidak dipahami semata sebagai gangguan biologis, tetapi sebagai ketidakseimbangan antara tubuh, alam, dan nilai hidup. Mereka melakukan gobuk dengan gerak ritmis, iringan musik tabuhan. Disertai senandung pantun, doa-doa, dan simbol-simbol tertentu seperti air, daun, atau tanah.
Yang menarik, ritus ini bersifat kolektif, bukan hanya melibatkan si sakit tetapi juga keluarga, tetangga, dan tokoh adat.
Dalam terminologi kesehatan masyarakat, ini adalah bentuk terapi komunitas di mana kesembuhan datang dari rasa menerima, memaknai, dan memulihkan bersama.
Dari perspektif kesehatan masyarakat. Gobuk mengandung beberapa dimensi penting. Kesehatan psikosomatik dan spiritual, yang meyakini bahwa pemulihan jiwa dan kepercayaan diri adalah bagian dari kesembuhan.
Kesehatan sosial, menciptakan solidaritas dan kepedulian komunitas terhadap penderita. Kemudian, kesehatan ekologis yakni menggunakan unsur alam sebagai penyeimbang energi tubuh.
Lalu, Kesehatan preventif, menyadarkan bahwa sakit tidak selalu karena fisik, tetapi bisa karena pelanggaran norma, stres sosial, atau ketegangan moral.
Transformasi dari Ritus ke Seni
Seiring waktu, ritus Gobuk mulai berubah bentuk menjadi seni pertunjukan yang kini kita kenal sebagai Tari Gubang. Tari ini tetap mengusung pola gerak, irama musik, dan nuansa simbolik dari Gobuk, tetapi lebih diposisikan sebagai seni panggung ditampilkan dalam festival budaya, acara daerah, atau agenda promosi pariwisata.
Ini adalah proses yang jamak terjadi dalam banyak budaya: ritus menjadi seni. Dan ini tidak selalu buruk. Dalam konteks pelestarian, transformasi ini menyelamatkan warisan lama dari kepunahan total.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah hilangnya makna dasar dari praktik tersebut. Tari Gubang hari ini, meski indah di mata, bisa berisiko memutus fungsi penyembuhannya. Ia menjadi koreografi estetis, tapi fungsi terapeutiknya perlahan hilang.
Sebagian masyarakat bahkan sudah lupa bahwa Gubang berasal dari Gobuk dari sebuah ritus yang penuh makna, bukan sekadar hiburan. Inilah tantangan besar kita. Bagaimana menjaga fungsi sosial dan kultural dari seni tradisi, agar tidak menjadi fosil panggung semata.
Pendekatan Budaya dalam Kesehatan: Apa Kata Dunia?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam berbagai publikasinya menegaskan pentingnya pendekatan budaya dalam kesehatan masyarakat (cultural approach to health).
Dalam dokumen Cultural Contexts of Health (2017), WHO menyatakan bahwa sistem kesehatan yang efektif adalah yang mampu memahami dan memanfaatkan nilai-nilai lokal, kepercayaan tradisional, serta praktik budaya dalam membentuk pola pikir dan perilaku sehat masyarakat.
Dalam konteks ini, Gobuk/Gubang bukan sekadar folklor, tapi bisa menjadi medium edukasi kesehatan berbasis budaya, untuk kesehatan mental, spiritual, dan relasi sosial. Sarana terapi komunitas (community healing), terutama di masa pasca-trauma atau disintegrasi sosial.
Alat advokasi kesehatan inklusif, yang melibatkan tokoh adat, seniman tradisi, dan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan kebijakan kesehatan.
Mengapa Tanjungbalai Perlu Menghidupkan Warisan Ini?
Tanjungbalai sedang berada di persimpangan. Kota ini mengalami berbagai tekanan degradasi lingkungan, banjir rob, persoalan sanitasi, penyakit masyarakat, krisis pendidikan karakter, dan keterasingan generasi muda dari budayanya sendiri.
Dalam situasi seperti ini, warisan seperti Gobuk bukanlah romantisme masa lalu ia bisa menjadi solusi masa kini. Kebudayaan, jika dihidupkan kembali dalam konteks kesehatan, dapat mengurangi tekanan psikosial masyarakat, terutama kelompok rentan seperti ibu, anak, dan lansia.
Menumbuhkan kepercayaan diri dan harga diri kolektif, lewat penghargaan terhadap warisan leluhur. Membuka ruang dialog lintas generasi, di mana nilai-nilai lama bisa dihidupkan kembali dengan cara yang relevan bagi anak muda.
Budaya dan Kesehatan dalam Agenda Nasional
Kementerian Kesehatan RI saat ini tengah menggulirkan Program Integrasi Layanan Primer (ILP) sebagai transformasi layanan kesehatan berbasis komunitas. ILP menekankan pendekatan promotif dan preventif, serta integrasi lintas siklus hidup (balita, remaja, ibu hamil, lansia) dengan layanan di Puskesmas dan Posyandu.
Salah satu aspek kunci ILP adalah pendekatan sosial-budaya dalam mengubah perilaku hidup sehat. Ini membuka peluang besar bagi Tanjungbalai untuk menjadikan nilai-nilai Gobuk sebagai bagian dari strategi kesehatan nasional.
Yakni sebagai terapi komunitas berbasis budaya untuk penderita gangguan psikosomatik, trauma, atau lansia.
Kemudian menjadi alat edukasi kesehatan preventif, dengan pendekatan bahasa dan simbol budaya lokal. Serda model pemulihan sosial, yang menguatkan solidaritas, empati, dan kohesi komunitas.
Integrasi Kebudayaan dan Kesehatan: Dari Seni ke Sistem
Untuk mewujudkannya, diperlukan langkah nyata dan kolaboratif dari Dinas Kesehatan, Dinas Kebudayaan, dan lintas instansi lainnya di Kota Tanjungbalai.
Penelitian dan dokumentasi ulang Gobuk dan Gubang, baik secara etnografis maupun medis sehingga revitalisasi ritus Gobuk, bukan untuk hiburan, tapi sebagai terapi komunitas dalam konteks trauma healing.
Pelatihan bagi tenaga kesehatan, kader posyandu, dan relawan budaya, agar memahami nilai-nilai penyembuhan dalam tradisi lokal. Penyusunan modul edukasi kesehatan berbasis budaya, untuk Posyandu dan program Sekolah Sehat.
Penyelarasan muatan lokal di sekolah, dengan nilai-nilai penyembuhan dan etika hidup Melayu. Kolaborasi lintas profesi, antara budayawan, psikolog, ulama, seniman, tokoh adat, dan pemuda.
Langkah-langkah ini akan memperkuat peran kebudayaan sebagai penopang sistem pertahanan kesehatan primer, sekaligus membuka ruang dialog antar generasi.
Menyembuhkan Kota dari Dalam
Tanjungbalai tidak sedang kekurangan tradisi. Yang kurang hanyalah keberanian untuk membaca ulang dan menghidupkan kembali warisan itu dalam konteks kekinian.
Dalam Gobuk, kita melihat bahwa penyembuhan bukan hanya soal obat, tetapi juga kebersamaan, nilai, dan makna hidup. Kota ini bisa menjadi pelopor pendekatan kesehatan berbasis budaya di Sumatra Timur bahkan di Indonesia.
Namun semua itu hanya mungkin jika ada kemauan politik dan keberanian birokrasi. Berani mengintegrasikan budaya ke dalam layanan primer. Dan membuktikan bahwa tari dan tabuhan bisa menjadi obat bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk jiwa dan kota.