OPINI  

Tanjung Pura Bagian Dari Aceh, Narasi Tak Berdasar!

Klaim historis atas Tanjung Pura kembali mencuat, namun secara konstitusional dan administratif, wilayah ini tak pernah masuk ke dalam Aceh.

Iklan Pemilu

Isu tapal batas kembali menyeruak ke ruang publik. Sejumlah kelompok mengklaim bahwa Tanjung Pura di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, merupakan bagian dari Provinsi Aceh.

Mereka mendasarkannya pada peta tahun 1956 yang menjadi rujukan dalam MoU Helsinki 2005. Perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Namun, narasi ini tidak berdiri di atas fondasi hukum yang kokoh dan mudah dipatahkan.
Klaim tersebut mengabaikan fakta-fakta konstitusional dan historis.

Dimana menetapkan posisi Tanjung Pura secara sah sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara sejak Republik ini berdiri.

Dokumen Perjanjian, Bukan Batas Wilayah

MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 memang menyebutkan bahwa wilayah Aceh mengacu pada batas administratif tahun 1956.

Namun, perlu diingat: MoU ini bersifat politik, bukan instrumen hukum tata wilayah.

Ia bukan pengganti undang-undang pembentukan daerah yang memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sebagai penguat, mari kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Batas Provinsi Sumatera Utara.

Dalam UU ini, secara tegas disebutkan bahwa:

“Daerah Aceh mencakup daerah-daerah yang dahulu merupakan bagian dari Keresidenan Aceh dalam Provinsi Sumatera Utara.

Sementara itu:

“Daerah Sumatera Utara mencakup daerah-daerah yang termasuk bekas wilayah Keresidenan Tapanuli dan Keresidenan Sumatera Timur, termasuk Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan sekitarnya.”

Artinya, Tanjung Pura, pusat Pemerintahan Kesultanan Langkat. Sejak awal ditetapkan sebagai bagian dari Sumatera Timur, dan tidak pernah menjadi wilayah administratif Aceh.

Keresidenan Sumatera Timur merupakan warisan administratif Hindia Belanda yang menjadi pusat dari kerajaan-kerajaan Melayu, seperti Kesultanan Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan.

Wilayah-wilayah ini membentuk identitas etnografis, budaya, dan administratif yang sangat berbeda dari kawasan Aceh.

Narasi Tak Berdasar

Peta Hindia Belanda yang menyertakan wilayah keresidenannya pada tahun 1893, sumber : Dutch East Indies (1942). Regeerings almanak voor Nederlandsch Indie 1942. Batavia: Landsdrukkerij
Peta Hindia Belanda yang menyertakan wilayah keresidenannya pada tahun 1893, sumber : Dutch East Indies (1942). Regeerings almanak voor Nederlandsch Indie 1942. Batavia: Landsdrukkerij

Maka, menarik Tanjung Pura ke dalam narasi Aceh bukan hanya tidak sah secara hukum, tetapi juga pernyataan ngelantur (tidak berdasar) dan mengingkari sejarah kebudayaan dan politik lokal.

Baca Juga  Video: Kelemahan dan Kelebihan All New Terios

Perlu untuk diketahui, sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.

Wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Provinsi Sumatera Utara dan Aceh merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Dimana, secara administratif Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Sumatera.

Wilayah Sumatera, diawal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi menjadi tiga wilayah atau Provinsi.

Pembagian itu diatur pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1948 Tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi.

Dimana pada Pasal 1 memuat : “Sumatra dibagi menjadi tiga propinsi yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.”

Kemudian pasal 1 menyebutkan “Propinsi-propinsi yang tersebut pada pasal 1, ialah :

  1. Propinsi Sumatra Utara, yang meliputi Karesidenan-karesidenan Aceh, Sumatra Timur dan Tapanuli.
  2. ‌Propinsi Sumatra Tengah, yang meliputi Karesidenan-karesidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi.
  3. ‌Propinsi Sumatra Selatan, yang meliputi Karesidenan-karesidenan Bengkulen, Palembang, Lampong dan Bangka-Biliton.

Aceh : Bagian Dari Sumatera Utara

Peta Wilayah Sumatera Menurut UU 10 Tahun 1948
Peta Wilayah Sumatera Menurut UU 10 Tahun 1948

Sehingga, bila merujuk pada UU 10 Tahun 1948 itu, Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi dengan wilayah besar yang terdiri tiga keresidenan, yaitu : Keresidenan Aceh, Keresidenan Tapanuli dan Keresidenan Sumatera Timur.

Keresidenan Tapanuli meliputi daerah yang kini disebut menjadi, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Nias, Humbang Hasundutan Samosir dan Padang Lawas.

Selanjutnya Keresidenan Sumatera Timur meliputi wilayah kerajaan-kerajaan Melayu. Yakni, Langkat (termasuk Tanjung Pura yang merupakan pusat Pemerintahan Kesultanan Langkat. Kemudian Deli Serdang, Asahan, Labuhanbatu, Karo, Simalungun, Tebing Tinggi dan Pematangsiantar.

Kesemua daerah yang kini menjadi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara itu, dulunya adalah wilayah Kerajaan-kerajaan Melayu di wilayah Sumatera Timur.

Kerjaan Melayu tersebut, yakni Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang, Kesultanan Asahan, Kesultanan Bilah, Kesultanan Panai dan Kesultanan Kualuh.

Wilayah-wilayah kerajaan Melayu Sumatera Timur membentuk basis identitas dan kultur masyarakat pesisir timur Sumatera yang  berbeda secara historis dan administratif dari wilayah Aceh atau Tapanuli.

Baca Juga  Santri Bakar Seorang Pengajar Pondok Pesantren Di Langkat

Hal ini memperkuat fakta bahwa daerah seperti Langkat, Medan, Deli, dan Asahan adalah bagian integral dari Sumatera Timur bukan dari Keresidenan Aceh.

Riwayat Administratif Provinsi Aceh

Peta Admistrasi Wilayah Sumatera
Peta Admistrasi Wilayah Sumatera 4 Periode

Aceh sendiri, dalam perjalanannya mengalami dinamika status administratif. Sejak awal kemerdekaan Indonesia Aceh kerap mengalami perubahan status.

Hal itu dapat dirangkum sebagai berikut:

  • 1948: Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1948, Aceh merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara, bersama Keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur.
  • 1950: Berdasarkan Perppu No. 5 Tahun 1950, Aceh kembali menjadi bagian dari keresidenan, tanpa status provinsi.
  • 1956: Dengan UU No. 24 Tahun 1956, Aceh resmi menjadi provinsi tersendiri.
  • 1959: Melalui Keputusan Perdana Menteri dan UUPA, Aceh diberi status sebagai Daerah Istimewa.

Perjalanan administratif ini menunjukkan dinamika sentralisasi dan pengakuan terhadap kekhususan daerah.

Peta 1956 Bukan Dasar Tunggal

Peta Dinamika Status Administrasi Wilayah Sumatera Utara
Peta Dinamika Status Administrasi Wilayah Sumatera Utara

Banyak pendukung narasi Tanjung Pura, Langkat merupakan bagian dari Aceh bersandar pada peta tahun 1956 yang disebut dalam MoU Helsinki.

Memang benar, dalam MoU Helsinki poin 1.1.4, disebutkan bahwa wilayah Aceh merujuk pada batas administratif per 1 Juli 1956.

Tetapi, perlu dicatat bahwa MoU Helsinki adalah dokumen politik, bukan hukum tata wilayah.

Ia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah batas provinsi secara otomatis tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku di Indonesia.

Faktanya, peta tersebut tidak pernah digunakan secara formal oleh pemerintah Indonesia sebagai dasar legal batas provinsi.

Bahkan Kemenkumham dan Setneg telah menyatakan bahwa mereka tidak memiliki arsip tersebut. Dan satu-satunya salinan tersimpan di Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai dokumen historis, bukan administratif.

Lebih lanjut, jika peta itu digunakan sebagai dasar, maka seluruh wilayah yang masuk dalam Keresidenan Sumatera Timur, termasuk Langkat dan Deli Serdang, secara historis sudah tercatat sebagai bagian Sumatera Timur, bukan Aceh.

Isi penting dari UU No. 24 Tahun 1956:

  • Pasal 1 menetapkan pembentukan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom tersendiri.
  • Pasal 2 mengatur bahwa batas wilayah Aceh adalah bekas wilayah Keresidenan Aceh.
  • Pasal 3 menyebut bahwa Provinsi Sumatera Utara terdiri dari wilayah bekas Keresidenan Tapanuli dan Keresidenan Sumatera Timur.
Baca Juga  Calon Petahana Bawa Narasi Janji Bukti Bahwa Dulu Tidak Kerja

Oleh sebab itu, maka wilayah seperti Tanjung Pura, pusat pemerintahan Kesultanan Langkat termasuk dalam Keresidenan Sumatera Timur. Dan tidak pernah menjadi bagian dari Keresidenan Aceh.

Fakta Administratif

Prasasti Yang Terpasang di Gapura Perbatasan Aceh - Sumatera Utara, di Kecamatan Besitang
Prasasti Yang Terpasang di Gapura Perbatasan Aceh – Sumatera Utara, di Kecamatan Besitang

Secara de facto dan de jure, Tanjung Pura adalah bagian dari Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

Tidak ada satu pun produk hukum, baik dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan presiden, maupun SK Kemendagri yang mengubah status ini.

Apalagi, dalam pemekaran wilayah dan penataan administratif terbaru oleh Kemendagri, Langkat tetap tercatat sebagai kabupaten di Sumut. Baik dalam data kependudukan, geospasial, hingga layanan publik.

Perlu juga dicatat, konflik tapal batas yang lebih relevan adalah terkait empat pulau tak berpenghuni di Aceh Singkil.

Itupun telah diputuskan melalui SK Kemendagri dan verifikasi BIG bahwa pulau-pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara.

Jika pulau-pulau yang disengketakan pun sudah memiliki kejelasan hukum. Apalagi wilayah daratan seperti Tanjung Pura yang secara historis dan legal tidak pernah masuk Aceh.

Hormati Sejarah, Taat Hukum

Kita perlu menempatkan MoU Helsinki sebagai wujud semangat perdamaian, bukan sebagai acuan hukum dalam menentukan batas wilayah administratif.

Sejarah adalah cermin masa lalu, tetapi hukum adalah arah masa depan.

Dalam hal ini, hukum telah jelas. Tanjung Pura adalah bagian dari Sumatera Utara. Dan tidak pernah menjadi bagian dari Provinsi Aceh, baik secara historis, administratif, maupun yuridis.

Membangun narasi bersandar pada romantisme peta tanpa legalitas hanya akan menyesatkan. Narasi sesat dapat menciptakan friksi horizontal. Serta dapat merusak semangat kesatuan nasional yang telah susah payah dibangun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *