Mungkin bagi sebagian orang, nama ini hanya terdengar sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Namun faktanya ratusan tahun lalu, wilayah ini adalah pusat dari sebuah kerajaan Melayu yang sangat kaya, berpengaruh, dan memiliki kekuatan ekonomi.
Ialah Kesultanan Langkat, kerajaan yang pernah disebut-sebut sebagai “poros kekayaan Melayu Timur” karena limpahan hasil bumi: tembakau kelas dunia dan minyak bumi pertama di Hindia Belanda.
Sayangnya, nama besar Langkat hampir lenyap dari ingatan kolektif bangsa. Bahkan, generasi muda Indonesia lebih mengenal kerajaan fiktif di sinetron daripada jejak nyata kerajaan kaya raya ini.
Hanya Masjid Azizi yang kini menjadi saksi bisu dari masa keemasan tersebut.
Dari Tembakau ke Minyak: Awal Kejayaan Kesultanan Langkat
Kesultanan Langkat diperkirakan berdiri pada abad ke-17 dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-19.
Pada masa pemerintahan Sultan Musa (wafat 1893) dan putranya Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (berkuasa 1893–1927), kerajaan ini menjalin kerja sama erat dengan kolonial Belanda.
Langkat menjadi lokasi pembukaan perkebunan tembakau Deli yang mendunia dan kawasan pertama yang memiliki pengeboran minyak bumi komersial, tepatnya di Pangkalan Brandan, pada tahun 1885.
Ini bahkan lebih dulu daripada pengeboran minyak di Texas, Amerika Serikat.
Langkat kala itu bak surga ekonomi. Hasil bumi melimpah. Kesultanan menerima royalti besar dari perusahaan-perusahaan Belanda.
Masjid Azizi: Simbol Kemegahan yang Masih Bertahan
Di tengah keruntuhan banyak peninggalan kerajaan Nusantara, Masjid Azizi yang berada di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, masih berdiri megah hingga hari ini.
Dibangun mulai tahun 1899 oleh Sultan Musa dan rampung pada 13 Juni 1902 oleh Sultan Abdul Aziz, masjid ini menjadi pusat spiritual dan budaya Kesultanan Langkat.
Arsitektur Masjid Azizi sangat berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia pada umumnya. Kubahnya ada belasan, terbuat dari tembaga yang berwarna hitam.
Bangunan Cagar Budaya Nasional itu memiliki 22 kubah yang beragam tipenya: satu kubah induk, tiga kubah teras, empat kubah sudut, 14 kubah piramidal berukuran kecil.
Arsitekturnya diperkaya pilar-pilar tinggi dengan pelengkung di atasnya, seperti masjid-masjid di Timur Tengah.
Walaupun terkesan seperti masjid dari belahan bumi lain, nuansa Melayu masih sangat kental di masjid Azizi. Bermodel Timur Tengah dengan sentuhan Melayu.
Selain catnya yang berwarna kuning dan hijau, beberapa sisi bangunan masjid dihias ornamen khas Melayu. Pintu masuknya pun bermodel melayu, dua daun pintu persegi panjang.
Keindahan Masjid Azizi menjadi inspirasi Sultan Kedah ketika membangun Masjid Zahir di Alor Setar, Kedah Malaysia.
Sisi unik lain masjid berkapasitas 2000 orang itu ada pada menara setinggi 35 meter yang memiliki 120 anak tangga.
Namun, menaranya tidak berangka tahun yang sama dengan bangunan masjid, dibangun tahun 1927 sebagai hadiah dan permintaan maaf pihak Deli My kepada Sultan Aziz karena tidak menghadiri peringatan hari ulang tahun ke-25 masa kekuasaan Sultan Abdul Aziz di Langkat.
Deli My adalah perusahaan milik Belanda, mereka tidak mau mengakhiri kerja sama dengan Sultan Azizi.
Di dalam kompleks masjid terdapat makam-makam Sultan Langkat serta Tengku Amir Hamzah, pujangga nasional dan tokoh penting di balik kebangkitan sastra Melayu.
Revolusi Sosial 1946: Hancurnya Sistem Kesultanan
Kekuasaan Kesultanan Langkat berakhir tragis dalam sebuah peristiwa yang nyaris terlupakan sejarah Indonesia: Revolusi Sosial Sumatera Timur, tahun 1946.
Rakyat yang selama puluhan tahun hidup di bawah sistem feodal, dipicu oleh perubahan ideologi dan politik pascakemerdekaan, melancarkan pemberontakan terhadap bangsawan dan penguasa tradisional.
Banyak keluarga kerajaan dibunuh, aset dijarah, dan sistem pemerintahan kesultanan dihapus secara de facto.
Langkat, bersama kerajaan-kerajaan Melayu lainnya seperti Deli dan Serdang, dihancurkan dalam waktu singkat.
Hanya bangunan masjid dan kuburan yang tersisa sebagai jejak kejayaan masa lalu.
Peristiwa ini sangat penting, tetapi ironisnya, jarang dibahas dalam buku sejarah nasional.
Mengapa Kerajaan Langkat Terlupakan?
Ada beberapa alasan mengapa nama besar Kesultanan Langkat menghilang dari narasi sejarah Indonesia modern:
Dominasi Narasi Nasionalis: Sejarah Indonesia lebih banyak berfokus pada perjuangan nasionalis dan tokoh-tokoh pergerakan, bukan kerajaan lokal.
Minimnya Arsip dan Dokumentasi: Banyak dokumen penting kerajaan dihancurkan atau dijarah saat Revolusi Sosial 1946.
Trauma Politik: Karena sistem kesultanan dianggap representasi kolonial dan feodalisme, warisan budaya Melayu ini disingkirkan dari wacana resmi.
Padahal, Langkat punya kontribusi besar terhadap pembentukan ekonomi Hindia Belanda dan identitas kebudayaan Melayu di Sumatera Timur.
Wilayah ini adalah rumah bagi intelektual, penyair, dan ulama yang punya pengaruh hingga ke negeri-negeri tetangga seperti Malaysia dan Brunei.
Langkat Hari Ini: Antara Warisan dan Lupa
Kini, Langkat adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Tanjung Pura tidak lagi menjadi pusat pemerintahan, namun Masjid Azizi tetap menjadi magnet sejarah dan spiritualitas.
Setiap tahun, masjid ini ramai dikunjungi wisatawan dan peziarah, meskipun banyak dari mereka tidak mengetahui kisah penuh di balik bangunan ini.
Kesultanan Langkat memang telah tiada, tetapi warisannya masih terasa. Bahasa Melayu, adat istiadat, dan semangat keilmuan yang diwariskan masih hidup di tengah masyarakat Langkat.
Saatnya Mengingat Kembali
Masihkah kita mengabaikan sejarah kerajaan-kerajaan lokal yang punya kontribusi besar terhadap Indonesia hari ini?
Kesultanan Langkat bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah bab penting yang membentuk identitas budaya, ekonomi, dan sosial masyarakat Sumatera Timur.
Saat negara-negara maju melestarikan kastil dan bangsawan mereka, kita justru melupakan kerajaan yang pernah lebih dulu berjaya.
Sudah waktunya Langkat diangkat kembali ke permukaan, bukan untuk mengembalikan kekuasaan lama, tapi untuk menghargai sejarah sebagai cermin masa depan.