Bahkan LBH Medan menilai jika Polda Sumut telah membuat sejarah terburuk penegakan hukum di Sumut.
Penilaian itu dikarenakan pilhak kepolisian tidak melakukan penahanan terhadap kedua tersangka dugaan tindak pidana korupsi.
Kedepannya tidak menutup kemungkinan para pelaku Korupsi di Sumut berlaku kooperatif saja biar tidak ditahan.
LBH Medan sedari awal menduga jika kedua Tersangka merupakan tumbal dari aktor intelektualnya.
Ketua LBH Medan, Irvan Sapitra menyapaikan pernyataan tersebut selaku kuasa hukum guru honorer Langkat kepada media melalui siaran berita, pada Kamis (13/6/24).
Kemudian LBH mengatakan, hal tersebut bukan tanpa alasan dimana keduanya bukanlah decision maker (pengambil keputusan) terkait lulus atau tidaknya seorang guru dalam seleksi PPPK Langkat Tahun 2023.
Irvan menjelaskan berdasarkan PermenpanRB 14 Tahun 2023 jo Kepmendibud Riset dan Teknologi Nomor 298 jo KepmenpanRB Nomor 649 Tahun 2023.
Menerangkan bahwa yang melakukan penilaian adalah Kepala Daerah (Plt. Bupati) melalui Kepala Dinas Pendidikan dan BKD Langkat.
Tidak hanya itu, LBH Medan menilai ketidak profesionalan Polda Sumut terlihat jelas ketika AKP. Rismanto J. Purba menyatakan jika dalam kasus ini telah dilakukan pemeriksaan 40 (Empat Puluh) orang Saksi.
Namun anehnya sampai sekarang belum memeriksa Plt. Bupati Langkat.
Selain itu AKP. Rismanto juga mengatakan jika nanti dalam proses penyidikan dibutuhkan keterangan yang bersangkutan (Plt Bupati Langkat) maka akan dipanggil, terang Irvan.
Selanjutnya menurut Irvan, penentu kelulusan para guru-guru honorer Langkat menjadi PPPK adalah kewenangan Kepala Daerah (Plt Bupati Langkat).
Maka seyogianya secara hukum Plt. Bupati harus diperiksa. Tapi faktanya hingga saat ini belum dilakukan pemeriksaan, lanjut Irvan.
Selain itu, menurut LBH Medan, Ketidak profesionalan Polda Sumut lainnya, yaitu sampai dengan saat ini pihak Ditreskrimsus Polda Sumut
tidak memberikan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan SP2HP lanjutan kepada Korban (Guru-Guru Honorer Langkat).
Lagi menurut, LBH Medan, seharusnya berdasarkan pasal 109 Ayat (1) KUHAP jo putusan MK Nomor 130/PUU-XII/2015 SPDP wajib diberikan kepada Korban dan Terlapor paling lambat 7 hari setelah ditingkatkannya suatu kasus pidana ke Penyidikan.
Namun setengah tahun berjalan kasus PPPK Langkat, SPDP tersebut tidak diberikan.
Dari rangkain peristiwa tersebut, LBH Medan menilai, hal itu menggambarkan ada dugaan ditutup-tutupinya kasus tersebut.
LBH Medan menyebutkan, parahnya lagi diduga kasus ini hanya ingin diselesaikan sampai 2 kepala sekolah saja.
Dimana dapat terlihat jika berkas perkara hendak dikirimkan ke kejaksaan.
Oleh karena itu LBH Medan secara tegas mendesak Kapolri untuk mencopot Kapolda Sumut dan Dirkrimsus dari jabatanya.
Seraya meminta Kapolri untuk mengambil alih kasus PPPK Langkat ke Mabes Polri guna terciptanya keadilan bagi masyarakat khususnya para korban.
Perlu untuk diketahui terkait dengan kasus PPPK Langkat tersebut korban telah melakukan aksi sebanyak 3 kali, yakni 24 Januari, lalu 14 Maret kemudiam 5 Juni 2024.
Dimana pada aksi ketiga para guru membawa kerenda mayat ke Polda Sumut, dengan maksud menggambarkan, matinya penegakan hukum dan keadilan di Polda Sumut.







