- Sunggal, Karo dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat membangun persatuan dan segala perselisihan dilakukan Belanda melalui kebijakan membagi dan memerintah harus diakhiri.
- Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) tidak sepakat dengan Belanda dan mempertahankan setiap jengkal wilayahnya tanah tersebut kepada masyarakat.
- Sunggal, Karo dan Aceh (Aduh, Gayo bersama-sama mengusir penjajah yang menjajah tersebut wilayah (H. Biak Ersada Ginting, 2002: 36-37)
Perlawanan terhadap Belanda sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan sumbangan dari setiap rumah
tangga di Sunggal sebesar 2-10 dolar yang digunakan untuk pertahanan pangkalan persiapan perang (Surat Schiff kepada Gouverneur General, 7 Mei 1872).

Para pejuang Sunggal juga selanjutnya memasang pemberitahuan perang
menurut adat Karo yang disebut “beringin musuh” di tempat-tempat tertentu yang menyatakan bahwa mereka yang berpihak pada Sultan Deli dan Belanda akan dibakar.
Peran Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulong Barat sebagai panglima secara langsung menggerakkan
tentara dan masyarakat di bidang energi dengan berbagai persiapan.
Bobot membuat pertahanan Persaudaraan Banteng diperkuat dengan kekuatan militer sebanyak 1.500 orang. Bahkan kedudukan di Kejeruan Selesai dan Bohorok di Langkat semakin kokoh.
Jabatan ini relatif mudah karena tidak ada hubungan kekerabatan antara
penguasa Sunggal dengan kedua tempat tersebut, misalnya istri Datuk Kecil dan Datuk Jalil adalah denko catty
dari Kejeruan Selesai.
Kekuatan pejuang Sunggal sudah mencapai 1000 orang Karo dan 500 orang bersama Melayu. Kebanyakan dari mereka telah dilengkapi dengan senjata (senapan piston rod).
Dukungan masyarakat tidak hanya dari Sunggal saja, namun juga dari Dataran Tinggi Karo. Para Raja Sunggal merupakan keturunan Surbakti dan Kampung Gajah di tanah Karo, tidak heran jika kecintaan masyarakat terhadap Datuk Sunggal begitu tinggi.