Aktivis anti-korupsi ramai-ramai mengkritik kebijakan Kejaksaan Agung terkait intruksi kepada anak buahnya untuk menunda proses hukum para peserta Pemilu 2024. Sehingga selama gelaran pesta demokrasi berlangsung, mulai dari calon anggota legislatif, kepala daerah, hingga calon presiden dan wakilnya.
Menjelang pelaksanan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama KPK mengumumkan kebijakan penundaan proses hukum terhadap calon kepala daerah (Cakada) selama tahapan Pilkada.
Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, menyampaikan bahwa kebijakan yang diambil adalah dalam rangka menjaga objektivitas proses demokrasi. Terutama dari black campaign (kampanye hitam) yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik pihak tertentu, mengutip kompas.com, Senin (2/9/2024).
“Kita menjaga objektivitas dari proses berjalannya demokrasi. Supaya tidak ada black campaign, menjadi satu isu untuk menjatuhkan calon yang lain,” jelas Harli Siregar.
Penundaan proses hukum berdasarkan intruksi Jaksa Agung Nomor 6/2023 tentang Optimalisasi Peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam Mendukung dan Menyukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak 2024.
Selain itu atas dasar Memorandum Jaksa Agung Nomor: B 127/A/SUJA/08/2023 tentang Upaya Meminimalisir Dampak Penegakan Hukum terhadap Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024.
Mengutip antaranews.com Minggu, (20/9/2023). Jaksa Agung, ST Burhanuddin, meminta agar penanganan laporan pengaduan dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang melibatkan calon kepala daerah dilakukan secara hati-hati dan cermat.
Ia jelaskan baik aduan korupsi yang melibatkan calon presiden dan calon wakil presiden maupun laporan dugaan korupsi yang melibatkan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah.
Oleh karena itu, diperlukan penundaan proses pemeriksaan yang dimulai sejak penetapan sebagai calon sampai dengan selesainya seluruh tahapan pemilihan.
KPK Akan Tunda Proses Hukum
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyampaikan bahwa pihaknya akan menunda proses hukum cakada selama tahapan Pilkada 2024 berlangsung.
Akan tetapi, kebijakan penundaan tersebut tidak berlaku bagi calon kepala daerah yang telah berstatus tersangka sebelum pendaftaran dilakukan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mengutip tempo.co, Selasa, (3/9/2024). Tessa Mahardika menjelaskan Cakada/Cawakada yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebelum proses pendaftaran di KPU, penyidikan tetap berjalan sesuai jadwal yang sudah direncanakan.
“Di luar itu, menunggu hajatan pilkada selesai.”
Adapun status hukum sebagai tersangka memang belum diatur secara tegas di dalam undang- undang.
Persyaratan Cakada
Persyaratan Calon Kepala Daerah diatur pada UU/10/2016, Perubahan Kedua atas UU/1/2015 Penetapan Perpu 1/2014 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.
Adapun persyaratan menjadi Calon Kepala Daerah terkait dengan status hukum Cakada, ialah tidak pernah berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tepat.
Kemudian tidak sedang dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
Sementara bagi mantan napi dapat menjadi calon dengan syarat telah jujur dan terbuka menyampaikan statusnya sebagai mantan terpidana kepada publik.
ICW Hukum Harus Transparan
Mengutip Isu Sepekan, Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian Setjen DPR RI terkait Isu dan Permasalahan Pilkada, Minggu Ke – 1 September, 2 – 8 September 2024, memuat pernyataan Peneliti Indonesia Corruption (ICW), Tibiko Zabar.
Tibiko Zabar, mengatakan bahwa penegak hukum harus memperkuat profesionalisme, pengawasan, akuntabilitas, dan transparansi ketika berhadapan dengan kasus korupsi yang bersinggungan dengan dimensi politik.
Ia menilai penundaan kasus korupsi merupakan suatu kesalahan. Penegakan hukum seharusnya berjalan sesuai dengan peraturan.
Melihat Rekam Jejak Calon Kepala Daerah
Senada, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, menilai seharusnya penegak hukum menindaklanjuti laporan dugaan tipikor yang masuk secara cepat.
Menurutnya menunda kasus tertentu karena alasan pilkada adalah tidak tepat.
Proses pemeriksaan hukum justru dapat membantu masyarakat untuk melihat rekam jejak calon kepala daerah yang akan dipilih.
Integritas calon kepala daerah merupakan salah satu aspek penting dalam menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Aktivis pengiat anti korupsi ramai-ramai mengkritik kebijakan Jaksa Agung yang menginstruksikan anak buahnya untuk menunda proses hukum para peserta Pemilu 2024.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan penundaan terhadap proses hukum bagi cakada menunjukkan “proses politik menegasikan penegakan hukum“.
Tak tanggung-tanggung, Indonesia Corruption Watch (ICW) bernada lebih keras. ICW menyesalkan memorandum Jaksa Agung, “Hukum harus dijadikan panglima, jangan di bawah ketiak politik“.
Sementara itu TII (Transparency International Indonesia) berpendapat bahwa keputusan Jaksa Agung berpotensi melanggar UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
TII menilai kebijakan tersebut akan berimplikasi pada akselerasi kenaikan resiko korupsi.
Berpotensi Menghasilkan Pemimpin Bermasalah
Fadli Ramadhani, Peneliti Perludem, intruksi Jaksa Agung menunda proses hukum bagi Cakada selama pemilu merupakan keputusan yang tidak sesuai dengan konstitusi.
Ia menilai, konstitusi memandatkan demokrasi dan hukum harus selaras serta berjalan bersamaan.
Akademisi Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, penundaan kasus hukum calon peserta pemilu membuka peluang ‘orang-orang bermasalah‘ terpilih.
“Lalu jika terpilih dan proses hukum baru berjalan, lebih merugikan. Mereka harus menjalani proses hukum. Akibatnya tidak bisa melakukan kerja pelayanan publik secara optimal, dan lagi-lagi masyarakat yang akan dirugikan,“ kata Titi (23/8/2023) mengutip BBC Indonesia.
Kemudian Titi menambahkan, ketika menjabat akan berpotensi besar menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi proses penegakan hukum.
“Bisa saja kasus hukum dipetieskan ketika orang bermasalah secara hukum itu terpilih,” kata Titi.
Titi menambahkan bukan dengan menunda kasus hukum, melainkan penegakan hukum secara transparan, profesional, proporsional dan berkeadilan.