BERITA  

Menjaga Wadah Sejarah Melupakan Isinya

Iklan Pemilu

Di berbagai daerah Indonesia, dari kota-kota tua hingga kampung adat yang terpencil. Kita dapat menyaksikan geliat pelestarian warisan budaya yang semakin terlihat nyata. Pemerintah daerah seolah berlomba mempercantik bangunan kolonial. Memugar kembali istana dan rumah tradisional. Menata ulang kawasan kota lama, serta menetapkan berbagai situs arsitektur masa lampau sebagai cagar budaya.

Langkah ini tentu patut diapresiasi karena menandakan adanya kesadaran kolektif bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Melainkan bagian integral dari identitas kebangsaan dan arah masa depan. Namun di tengah semangat itu. Kita sering kali terjebak dalam narasi pelestarian yang terlalu bertumpu pada hal-hal yang monumental dan kasat mata.

Kita sibuk memperbaiki atap istana, mengecat ulang dinding masjid tua, atau membangun taman tematik di situs bersejarah. Tetapi pada saat yang sama, kita lupa bahwa tidak semua warisan budaya berdiri tegak di atas tanah.

Banyak yang justru tersimpan dalam diam, di lemari tua rumah atok, di pojok ruang tamu keluarga, di rak kitab ulama tua. Atau bahkan terlupakan di gudang dan loteng, ditumpuk bersama barang-barang lama yang dianggap tidak lagi berguna.

Benda-benda itu, keris pusaka, naskah kuno tulisan tangan, alat musik, kitab tafsir, pakaian kebesaran dan alat kelengkapan adat istiadat. Kesemuanya contoh warisan budaya bergerak yang secara fungsi dan makna. Tak kalah penting dari bangunan besar yang kerap jadi objek wisata.

Sayangnya, hanya karena ukurannya kecil, tidak berdiri di atas tanah, dan tidak masuk dalam kategori situs arsitektural. Mereka sering diperlakukan sebagai benda biasa, bukan sebagai artefak sejarah.

Bukan Sekadar Hiasan

Ada yang dijadikan sekadar hiasan di dinding, ada yang dilipat dalam kain kafan sebagai pelengkap tradisi keluarga. Bahkan tak jarang yang dijual atau ditukar dengan barang modern karena dianggap tak lagi bernilai.

Padahal, dalam konteks kebudayaan lokal, benda-benda seperti itu dulunya digenggam dengan kebanggaan, dibawa dalam upacara penting, disimpan dengan kehormatan, bahkan diwariskan dengan wasiat.

Sebilah keris tidak hanya simbol kekuasaan, tetapi juga perlambang spiritualitas dan penjaga diri. Sebuah naskah bukan sekadar tulisan Arab melayu, tetapi jejak kecendekiaan ulama terdahulu.

Baca Juga  DTSEN Jadi Acuan, Singkirkan Masyarakat Tak Layak Terima Bansos

Sebuah rebana atau gendang bukan alat musik biasa, tapi instrumen yang hanya ditabuh saat momen sakral seperti penobatan sultan atau ritual khusus. Alat perlengkapan adat, penyambutan kepada tamu agung.

Benda-benda ini memang tidak megah secara visual, tetapi di balik bentuknya yang kecil dan rapuh, terkandung makna sejarah, spiritualitas, dan kearifan lokal yang tak kalah besar dibanding istana atau masjid tua yang berdiri megah.

Mereka adalah potongan-potongan kecil dari narasi besar bangsa—yang jika dibiarkan rusak atau hilang, akan meninggalkan kekosongan dalam ingatan sejarah kita.

Lupa pusaka

Warisan budaya bergerak, benda yang memiliki sifat fisik berbeda dari bangunan atau situs. Ia bisa berpindah tangan, diwariskan turun-temurun, dijual secara legal atau ilegal, bahkan hilang tanpa jejak.

Lebih celaka, sering kali benda-benda ini berada di tangan perorangan bukan lembaga atau negara sehingga keberadaannya nyaris tak tercatat, apalagi dilindungi.

Ambil contoh dari Langkat, sebuah wilayah bekas kesultanan di pesisir timur Sumatra. Di kota tua Tanjungpura, kita bisa melihat Masjid Azizi, salah satu peninggalan arsitektur Islam yang megah dan telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Namun siapa yang hari ini mencatat mengetahui keberadaan naskah-naskah tafsir dan fiqih tulisan tangan Mufti Langkat pada masa itu. Benda – benda dalam dua istana yang tak mungkin semua terbakar, rebana nobat yang mengiringi pelantikan raja.

Benda-benda ini masih ada di rumah-rumah keturunan bangsawan ditinggal sebagai kenangan untuk diingat cucu cicitnya, di lemari tua para ulama, atau di ruang tengah keluarga adat.

Tapi karena tidak termasuk prioritas kepenting pelestarian resmi, mereka berada di zona kelabu, tidak dijaga, tidak terlirik, dan belum dimasukkan dalam rencana perlindungan jangka panjang.

Dasar Berpijak

Ketimpangan ini tidak memiliki pembenaran hukum. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dengan jelas menyebutkan bahwa “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.”

Baca Juga  Bupati Langkat Ikuti Retret Kepemimpinan Kepala Daerah di Akmil

Lima bentuk itu benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan diletakkan dalam posisi setara. Tidak ada klasifikasi bahwa bangunan lebih penting dari benda, atau kawasan lebih utama dari manuskrip.

Namun dalam praktik, pelestarian cenderung terjebak pada yang visual, besar, dan mencolok. Bangunan bisa difoto dan dikunjungi wisatawan, situs bisa dipagari dan dipromosikan. Tapi benda seperti sehelai manuskrip tua yang mulai lapuk tak terlihat di radar kebijakan.

Ia hanya hidup di balik laci kayu bersama debu dan dalam ingatan orang tua yang menyimpan kekayan ilmu dan pengetahuan masa lalu.

Warisan Bergerak Itu Pusaka

Warisan bergerak adalah jejak kebudayaan yang lebih personal dan naratif. Sebilah keris bukan hanya senjata, tapi simbol legitimasi kekuasaan dan spiritualitas.

Sebuah kitab bukan sekadar kumpulan huruf Arab, tapi representasi kedalaman ilmu dan relasi keagamaan lokal. Sebuah rebana bukan alat musik biasa, tapi perangkat ritus dan ekspresi komunitas.

Di banyak peradaban, benda-benda seperti itu adalah jantung dari memori kolektif. Jika kita kehilangan mereka, kita kehilangan konteks, kehilangan pengetahuan, kehilangan nyawa dari warisan itu sendiri.

Sebuah istana tanpa pusaka hanyalah bangunan. Tapi pusaka tanpa istana masih bisa menceritakan sejarah. Pusaka itu bukan klenik tapi symbol sebuah peradaban besar kepada penerusnya.

Menggeser Pandang

Sudah waktunya kita mengganti pendekatan pelestarian dari yang bersifat visual dan struktural ke arah yang lebih naratif, fungsional, dan komunitarian. Pelestarian budaya bukan hanya soal mempercantik masa lalu untuk dilihat wisatawan, tetapi tentang menjaga makna dan ingatan bersama untuk diwariskan ke depan.

Merawat nilai menjadikan tongkat kemasa depan. Pelestarian benda bergerak membutuhkan cara yang berbeda: Pertama, pendekatan aktif, pemerintah daerah harus mulai melakukan pendataan benda budaya bergerak secara aktif, bukan menunggu laporan dari pemilik. Libatkan tokoh adat, keturunan bangsawan, ulama, dan kolektor lokal dalam proses identifikasi.

Baca Juga  Tender Belum Rampung, Pekerjaan Infrastruktur Terancam Tak Rampung Kadis PUPR Kalau Tidak Mampu Mundur

Kedua, pembentukan dokumentasi digital yang bisa diakses publik. Jangan biarkan benda pusaka hidup dalam kegelapan informasi. terutama bagi benda-benda yang teridentifikasi bernilai tinggi, terancam hilang dan diperjual belikan didalam dan luar negeri (Black Market).

Ketiga, insentif dan pengakuan moral kepada keluarga yang masih menjaga benda warisan, agar mereka merasa dihargai dan didampingi secara legal dan kultural.

Terakhir, kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat adat untuk menjaga, merawat, dan menafsirkan ulang warisan ini secara kontekstual.

Warisan kosong

Jika kita hanya menjaga dinding, tapi tidak menyelamatkan isinya, maka yang kita wariskan ke generasi berikutnya adalah cangkang kosong. Jika kerisnya telah dijual, kitabnya rusak dimakan rayap, dan rebana sudah jadi pajangan hotel, maka bangunan yang kita pugar hanyalah panggung tanpa naskah.

Bangsa besar bukan hanya bangsa yang bisa membangun ulang masa lalu, tapi yang bisa memahami, menjaga, dan melanjutkan maknanya. Maka ingatlah, warisan budaya tak selalu bertiang dan berdinding.

Ia juga bisa terlipat dalam lemari tua, tertulis dalam naskah rapuh, atau tertinggal dalam suara alat musik yang tak lagi dimainkan. Dan yang seperti itu, justru yang paling rawan hilang dan paling perlu diselamatkan.

Perhatian pemerintah daerah dan para pelaku pelestarian yang masih condong pada monumental dan mudah dilihat dengan dana miliaran digelontorkan untuk memugar bangunan, sementara keris dan naskah kuno dibiarkan berdebu di sudut lemari tua.

Jangan biarkan pola ini terus berlanjut. Kita akan menyaksikan satu demi satu benda pusaka hilang dari ruang budaya kita bukan karena dijarah. Tetapi karena dilupakan. Kita akan mewarisi istana kosong yang hanya menyisakan arsitektur tanpa cerita.

Kalau kita terlalu fokus pada bangunan dan melupakan benda pusaka, maka kita hanya akan menjaga kulit sejarah. Sementara isinya perlahan lenyap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *