Fenomena panic buying emas kembali menghiasi ruang-ruang percakapan publik. Setiap kali muncul gejolak ekonomi global, inflasi tinggi, atau ketidakpastian politik, masyarakat berbondong-bondong membeli emas.
Tak ada yang bisa menyangkal. Sejak lama, Kita mengenal emas sebagai aset perlindungan (safe haven). Namun, ketika kepanikan menjadi pemicu utama pembelian emas secara besar-besaran, efeknya tak lagi sekadar perlindungan, tapi bisa merambat menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi nasional.
Apa yang mendorong masyarakat begitu cepat mengambil langkah ekstrem membeli emas? Jawabannya sederhana: hilangnya rasa percaya.
Kepercayaan terhadap rupiah, terhadap sektor perbankan, bahkan terhadap kebijakan pemerintah, bisa runtuh hanya karena sinyal-sinyal krisis yang belum tentu benar-benar terjadi.
Panic buying emas bukan hanya perilaku ekonomi individual; ia adalah cermin kegelisahan kolektif. Tapi sayangnya, perilaku ini justru menciptakan lingkaran setan yang memperburuk masalah.
Permintaan emas yang melonjak menyebabkan harga melesat tak wajar, mendorong masyarakat lain ikut panik—sebuah efek domino psikologis yang berbahaya.
Dampaknya terasa nyata: uang yang seharusnya beredar di sektor riil justru “diparkir” dalam bentuk logam mulia. Konsumsi menurun, investasi produktif tertahan, dan perlahan pertumbuhan ekonomi ikut tersendat. Belum lagi risiko terjadinya spekulasi liar dan penimbunan, yang menambah ketegangan pasar.
Pemerintah tak bisa diam. Strategi jangka pendek memang bisa dilakukan dengan menstabilkan nilai tukar dan memastikan suplai emas tetap tersedia.
Namun, solusi jangka panjang jauh lebih penting: membangun kembali kepercayaan masyarakat. Transparansi dalam kebijakan, stabilitas politik, dan literasi keuangan yang lebih baik harus menjadi prioritas utama.
Kita harus belajar bahwa emas bukan solusi untuk semua masalah. Dalam jangka panjang, hanya ekonomi yang produktif, adil, dan transparan yang bisa benar-benar menjamin rasa aman masyarakat.