Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Langkat resmi mencabut surat edaran (SE) terkait mengenakan busana Melayu di sekolah setiap hari Jumat.
Dinas mencabut surat edaran setelah sebelumnya menuai kritik dan penolakan dari berbagai pihak. Terutama orang tua siswa di tingkat SD dan SMP.
Pencabutan berdasarkan surat edaran baru bernomor 400.35.4/4040/DISDIK/2025. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdik Langkat, Gembira Ginting meneken surat edaran itu, pada 6 Agustus 2025, di Stabat.
Dalam edaran baru, Gembira menyebut untuk mengenakan busana Melayu kepada seluruh Pegawai dan Dewan Guru di sekolah pada setiap hari Jum’at.
Selanjutnya, “Dengan dikeluarkannya surat edaran baru ini, maka surat edaran dengan Nomor: 400.35.4/3834/DISDIK/2025 tanggal 24 Juli 2025 dicabut/ditarik,” demikian isi surat tersebut.
Sebelumnya, dalam edaran yang dicabut, menerangkan ‘Pakaian Seragam Sekolah pada setiap hari Jum’at mengenakan Busana Melayu. Hal ini berlaku juga kepada seluruh Pegawai dan Dewan Guru di Sekolah.’
Namun hingga awak media menayangkan berita ini. Plt Kadisdik, Gembira Ginting belum memberikan keterangan resmi terkait alasan pencabutan surat edaran tersebut.
Saat dikonfirmasi, Kamis, 7 Agustus 2025 pagi, melalui pesan whatsapp terkait pencabutan surat edaran, Gembira hanya menjawab, “Di kantor y bang,” ujarnya tanpa memberikan keterangan lebih lanjut.
Respons tersebut menimbulkan tanda tanya, dan terkesan tidak menjunjung keterbukaan informasi. Sebab, Gembira tidak menyertakan penjelasan terkait alasan pencabutan edaran sebelumnya.
Kebijakan tersebut sempat memicu pro dan kontra, terutama menyangkut urgensi, kesiapan serta potensi dampak ekonomi bagi orang tua murid.
Tuai Penolakan

Surat edaran Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Langkat tentang pakaian seragam sekolah setiap hari Jumat mengenakan busana Melayu menuai protes keras dari para orang tua siswa.
Dalam Surat Edaran Nomor 400.35.4/3834/DISDIK2025 tertanggal 24 Juli 2025, aturan ini diberlakukan bagi seluruh SD dan SMP, baik negeri maupun swasta.
Namun kebijakan ini terkesan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Hanya dengan dalih pemajuan Kebudayaan.
Banyak pihak menilai kebijakan ini dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak berpihak kepada rakyat kecil. Terlebih lagi tanpa sosialisasi yang cukup dan diterbitkan setelah tahun ajaran baru dimulai.
Ketika para orang tua telah mengeluarkan biaya besar untuk membeli seragam sekolah. Termasuk seragam Pramuka yang selama ini dikenakan setiap hari Jumat dan Sabtu. Ditambah lagi, saat ini ada pencanangan kebijakan sekolah 5 hari.
“Kami bukan menolak budaya Melayu, tapi jangan begini caranya. Kami baru saja membeli pakaian seragam termasuk baju Pramuka, sekarang disuruh pakai baju Melayu tiap Jumat. Duitnya dari mana? Mau makan aja susah sekarang,” keluh orang tua murid di Kwala Gebang yang anaknya sekolah di bangunan reyot, Senin 4 Agustus 2025.
Protes serupa juga disampaikan orang tua lainya. Seorang pekerja harian lepas yang memiliki dua anak di bangku SD dan SMP.
“Kami ini rakyat kecil. Sudah pas-pasan beli seragam, baju pramuka, sekarang baju Melayu lagi? Kalau semua harus kami tanggung, pemerintah kerjanya apa?” katanya dengan nada kecewa.
Kebijakan Serampangan
Di beberapa sekolah, sejumlah guru juga dilaporkan merasa keberatan, meski tidak bisa menyuarakan secara terbuka. Mereka khawatir dikenakan sanksi jika tak mengikuti instruksi.
Lebih jauh, Fazar, Mahasiswa Pemerhati Pendidikan mengkritik kebijakan ini sebagai langkah yang tidak memiliki kepekaan sosial.
“Kalau bicara soal pemajuan kebudayaan, tentu itu baik. Tapi harus ada desain kebijakan yang adil dan partisipatif. Jangan malah menjadikan budaya sebagai beban baru. Jangan pula rakyat disuruh mendadak beli busana melayu tanpa perencaan yang matang. Ini namanya serampangan. Ini namanya bukan pelestarian, tapi pemaksaan,” tegas Fazar, Selasa 5 Agustus 2025 di Stabat.
Ia menilai, Pemkab Langkat seharusnya merencanakan dan mensosialisasikan jauh-jauh hari, sebelum tahun ajaran baru dimulai.
Selain itu juga harus menyediakan fasilitas atau bantuan bagi siswa dari keluarga tidak mampu sebelum menerbitkan kebijakan tersebut.
Terlebih, surat edaran ini muncul tanpa ada masa sosialisasi yang memadai, apalagi diskusi terbuka dengan para pemangku kepentingan pendidikan di daerah.
Sementara itu, rekan Fazar lainnya menyayangkan bahwa kebijakan ini hanya menyentuh aspek simbolik budaya seperti baju dan aksara Arab-Melayu pada plang sekolah.
Namun belum menyentuh substansi pelestarian budaya, seperti penguatan kurikulum lokal, revitalisasi bahasa, atau pengembangan seni yang lebih bermakna dan edukatif.
“Budaya itu bukan cuma soal baju. Kalau hanya busana Melayu yang dipaksakan, tanpa pemahaman nilai-nilai dan semangatnya, ini hanya seremonial,” ujar Laras Sari, aktivis perempuan dan penggerak literasi.
Para orang tua dan pemerhati pendidikan berharap agar kebijakan ini segera ditinjau ulang. Diberi masa transisi, dan diiringi langkah konkret dari pemerintah daerah untuk membantu masyarakat.
Bukan malah menambah beban hidup mereka di tengah tekanan ekonomi saat ini.
Kekhawatiran terbesar kini adalah jika dunia pendidikan malah menjadi ruang penindasan baru terhadap rakyat miskin atas nama budaya.