Dibanyak acara seremonial busana adat dan tarian kerap menjadi tampilan utama pembuka. Iringan musik mengalun lembut di telinga, menghidupkan suasana dan disebut-sebut sebagai “pelestarian budaya”.
Semua tampak indah berjalan, menarik untuk sebuah tampilan. Namun, di balik sajian itu, muncul satu pertanyaan mendasar. Benarkah ini cerminan utuh dari pelestarian?
Kebudayaan bukanlah hanya tontonan. Ia adalah sistem nilai, cara berpikir, cara bertindak dan pola hidup yang membentuk kebiasaan, peradatan dan peradaban.
Jika kondisi itu terus berlaku, maka yang sedang dilakukan adalah penyempitan budaya.
Bahkan sering kita temukan kecenderungan menjadikan pakaian adat sebagai simbol utama pembelaan terhadap budaya. Maka sesungguhnya perlakukan itu adalah pendangkalan budaya bukan pelestarian.
Memakai busana daerah tanpa memahami makna di baliknya. Ibarat membawa bendera tanpa tahu apa yang sedang diperjuangkan.
Tidak ada yang memungkiri bahwa tarian dan busana merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya, tapi bukan satu-satunya. Bahkan bisa jadi bagian paling dangkal, jika pemahaman yang mendalam tak membersamai dalam pelaksanaannya.
Perlu garis bawahi dengan tinta tebal, bahwa budaya bukan hanya yang tampak dari luar. Melainkan, bagaimana budaya menjadi metode berpikir dan bergerak masyarakat. Dalam berinteraksi, tata relasi sosial, dan sistem pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pembelaan Semu
Sekali lagi, ketika kita menjadikan busana sebagai simbol utama pembelaan terhadap budaya. Maka sesungguhnya, kita sedang menyederhanakan sesuatu yang kompleks menjadi sekadar aksesori.
Ketika tarian hanya menjadi pengisi acara pembukaan, bukan lagi bagian dari ritus sosial atau ekspresi kolektif, maka kebudayaan kita sedang mengalami pelepasan makna.
Di Langkat, misalnya, banyak jejak kultural yang pelan-pelan menghilang karena tak mendapat ruang dalam diskursus budaya hari ini. Kita lebih sibuk membungkus budaya dengan estetika panggung daripada menggali esensinya.
Kita lupa bahwa melestarikan budaya bukan lewat pentas semata. Budaya akan hidup dan lestari lewat praktik sehari-hari dan pemahaman setiap generasi.
Lewat cara orang tua mendidik anak dan cara masyarakat menyelesaikan konflik serta bagaimana generasi muda mengenal sejarah kampungnya. Bukan hanya mengenakan tanjak di depan kamera.
Bahkan menjadi mengkhawatirkan jika budaya hanya dipromosikan hanya sebagai komoditas. Para pelaku budaya memolesnya agar laku dijual. Mereka menjadikan busana adat sebagai materi konten, bukan lagi sebagai lambang identitas.
Tari-tarian ditampilkan demi estetika, bukan makna. Ketika budaya direduksi menjadi citra, maka yang terjadi adalah eksploitasi, bukan pelestarian.
Langkat perlu arah baru dalam merawat budayanya. Bukan dengan menambah jumlah pentas dan lomba busana adat, tapi dengan memfungsikan kembali ruang-ruang budaya di luar panggung.
Pelestarian tak bisa dilakukan dari atas panggung. Ia harus dikerjakan dari bawah di tengah masyarakat.
Kalau tidak, kita akan terus menyaksikan budaya tampil indah, tapi kosong. Megah di panggung, tapi hilang di kehidupan nyata.